Thursday, December 3, 2015

My Baby Bump: Hospitalized! Part 1 :( (29 - 31 weeks)

Jadi yaaa... Curhatan ini saya buat di rumah saat bedrest di minggu ke-31 usia kehamilan saya.

Gini nih kronologis sampe saya mendadak bisa di opname:

Sabtu, 21 November 2015
Mulai kontrol reguler 2 mingguan setelah minggu ke-28. Alhamdulillah semua baik, yang jadi catatan berat baby di minggu ke-30 agak kuyus kata dr Ivander. Disaranin untuk banyak makan protein seperti daging sapi, ayam, atau paling nggak 2 butir telur sehari untuk ngejar berat baby yang 'cuma' 1.350 gram, sedangkan kalau saya lihat di chart berat janin di ukuran 30-31 minggu harusnya udah 1.400 - 1.500 gram.
Satu lagi catatan dari dokter, katanya jarak kepala baby ke leher rahim kok udah dekat.. Saya ditanya, sering kontraksi nggak? Saya bilang, kalau perut kencang-kencang sih hampir tiap sore. Akhirnya dokter resepin Duvadillan untuk diminum kalau perut berasa kencang.

Selasa, 24 November 2015
Weekly meeting seharian di kantor. Rasanya agak sesak napas, apalagi si bayik dalam perut hari itu lg polah luar biasa. Nyundul atas rusuk bikin nggak bisa nafas, nyundul ke bawah bikin pengen pipis. Dibawa jalan perut rasanya kayak mau jatuh ke bawah. Makin sore, rasanya kok perut makin kenceng ditambah mules, pinggang pegel seperti mau haid. Di sini feeling saya udah agak nggak enak nih. Saya udah ngabarin suami, minta tolong on time jemputnya soalnya pinggang saya berasa mau patah. Segala posisi duduk atau berdiri udah nggak enak aja bawaannya.
Di jalan saya sempet Whatsapp dr Ivander, nanya beda kontraksi palsu dan kontraksi aali itu seperti apa. Katanya sih kalau kontraksi palsu itu hanya sebentar-sebentar dan sakitnya nggak makin intense.
Sampai di rumah saya bawa tiduran, karena biasanya sih kalau perut lagi kenceng trus saya bawa istirahat malemnya, paginya udah lumayan lah rasanya.

Rabu, 25 November 2015
Bangun-bangun perut masih terasa kenceng, badan juga rasanya capekkk banget. Akhirnya saya izin bedrest sehari deh ke kantor. Sorenya, suami ngajak saya check up lagi ke dokter. Awalnya saya nggak mau, saya bilang ke suami, "Nggak usahlah. Aku istirahat aja. Biasanya kalau lagi gini ak istirahat juga baikan lagi kok. Ntar ak dikirain bawel lho, dikit-dikit kontrol *parno sendiri*". Feeling saya udah jelek aja waktu itu, entah kenapa. Akhirnya sih tetep berangkat juga kontrol, dan kali ini ibu saya pengen ikut. Jadilah kita bertiga ke dokter.
Sampai di ruang dokter, USG belum sampai 5 menit, raut muka dokternya agak berubah gitu, "Kita ranap yah?"
Saya yang masih belum ngeh ranap apaan ngangguk bingung sambil kemudian nanya, "Ranap apaan dok?"
Dr Ivander senyum sambil jawab, "Rawat inap, bu. Di sini saya ukur kepala baby sama leher rahim jaraknya tinggal 3 cm aja lho."
Saya liat ke monitor USG dan ngeliat sekilas kepala baby saya semangat banget nyundul ke bagian bawah. Deg! Speechless deh.. Baby saya kan masih 30-31 minggu. Terakhir kontrol kemarin aja dr Ivander sempet bilang supaya saya naikin berat badan janin yang baru 1.350 gram. Duh! Gimana kalau begini, gimana kalau begitu? Berbagai bayangan melintas di benak saya. Rawat inap kok rasanya leads to many unpredictable things yang nggak ada di bayangan saya sebelumnya, "Dok, ada alternatif lain nggak selain rawat inap?"
Dr Ivander bilang dia ingin masukin obatnya lewat infus, dan untuk precaution mau kasih 4x suntik penguat paru untuk janin. Huff.. Ya sudahlah, meskipun rasanya ga pengen (lebih ke rasa takut sih sebenernya), tapi mau nggak mau saya nurut deh demi si baby.
prosesnya cepet banget. Saya masuk ke kamar langsung dipasangin infus sambil nunggu disuntik penguat paru yang pertama kali. Setelah infus terpasang, baru deh saya ngerasa agak "shock", gimana dengan baby saya? Is he going to be ok?
Seakan-akan tahu kalau ibunya cemas, si baby malah makin heboh nendang dan nyundulnya. Bener-bener nggak berhenti. Bikin saya yang tadinya masih bisa becanda-becanda, jadi nangis deh karena ketakutan. Makin deres airmata yang keluar, baby makin heboh geraknya. Setelah ibu saya pulang dianter suami, sekaligus ambil baju untuk di RS, saya seperti tersadarkan bahwa saya HARUS tenang supaya si baby juga ikut cemas di dalam. Saya cari headset dan saya putar musik klasik dan MP3 alquran yang biasanya saya perdengarkan ke baby. Saya ajak ngomong terus kayak orang gila bahwa kita berdua harus tenang, we've been thru ups and down bareng-bareng selama 7 bulan ini. Eventually everything is going to be Ok. This too shall pass. Tempat terbaik si adik kecil saat ini adalah di rahim saya sampai saatnya nanti dia sudah bisa mandiri sendiri. Rahim sayalah tempat yang paling nyaman. Ayo, nak! Kita harus kerjasama. Begitu terus saya ucapkan berulang-ulang. Nggak lama kemudian saya merasa gerakan baby makin anteng. Alhamdulillah. Malam itu meskipun sudah jauh lebih tenang hati saya, tapi saya baru bisa terlelap sekitar jam stengah 4 pagi.

Kamis, 26 November 2015
Paginya saya diambil darah dan sampel urin untuk di cek di lab. Dokter curiga saya ada infeksi yang menyebabkan baby turun ke bawah lebih cepat dari waktunya.
Setelah itu saya di CTG. Hasilnya kondisi si baby baik, detak jantungnya berkisar di 145, normalnya antara 120-160 kata suster. Saya juga di cek apakah ada rasa deg-deg an atau nggak, karena katanya Bricasma atau obat kontraksi yang dimasukkan melalui infus efek sampingnya dapat menimbulkan jantung berdebar. Memang sih detak saya terutama semalam lebih cepat, tapi saya bilang ke dokter jaga kemungkinan itu karena perasaan cemas yang saya alami.
Sorenya jam 5, jadwal kontrol sama dr Ivander lagi, pas di USG, jarak kepala baby dengan leher rahim masih sama seperti kemarin. Huhuhu.. Si bayik nggak bisa ya masuk gigi R dulu sampai nanti full term? *ngarep*
Tapi selain itu semua pemeriksaan menunjukan hasil yang baik. Kontraksi jauh berkurang. Air ketuban cukup, plasenta masih Ok, berat badan baby malah sekarang ini sudah nambah sekitar 300 gram dalam waktu 5 hari jadi 1.682 gram sejak hari Sabtu kemarin. Alhamdulillah! Meskipun kata dokter, beratnya masih harus ditambah lagi. Ayolah, nak! Kita genjot lagi proteinnya :)
Karena kondisi saya yang membaik, dokter mutusin untuk copot infus saya dan di observasi malam ini. Kalau sampai terjadi kontraksi, bisa minum obat Duvadillan secara oral dengan dosis 1/2 butir sekali minum. Yes! Artinya besok sudah bisa pulang dong.. Seneng dengernya.
Tapi ternyata...
Sejam setelah lepas infus, perut saya kenceng-kenceng lagi. Jam stengah 7 malam saya panggil suster dan sama suster diminumin duvadillan. Suster bilang kalau sampe jam 7 masih kontraksi juga (Oohh.. Ternyata itu kontraksi tho?), segera panggil suster yang kebetulan lagi mau ada tindakan di lantai 1.
Jam 7 perut makin nggak nyaman rasanya, plus sekarang ditambah mules. Hiks.. Mulai worried deh. Mana pas di situ ada kejadian yang kurang menyenangkan pula. Tapi ya sudahlah, saya anggap itu manner dari individu bukan pelayanan dari RS-nya. Toh selama ini saya nggak pernah ada masalah sama pelayanan dari RS, apalagi dokternya.
Long story short, karena kontraksi saya nggak berhenti, menurut suster dalam 10 menit sudah 3x kontraksi meskipun durasi rata-ratanya "cuma" 10 detik aja, akhirnya dr Ivander instruksikan untuk pasang infus lagi deh :(
Segera setelah infus dipasang, kontraksi berangsur-angsur hilang.

Jumat, 27 November 2015
Dr Ivander mutusin untuk kasih antibiotik yang aman untuk bumil ke saya, takutnya ada infeksi yang nggak terdeteksi, selain itu drop obat kontraksinya juga diperlambat untuk dilihat kembali, apakah kontraksi datang lagi atau nggak. Meskipun perut terkadang masih suka agak kencang, tapi sudah nggak seperti kemarin lagi.
Yang menarik hari itu saya dikunjungi sama dokter, yang awalnya saya pikir dokter jaga. Orangnya simpatik, periksanya juga cukup detail meskipun si pak dokter bukan dokter saya. Belakangan saya baru ngeh kalau itu ternyata dr Ivan Sini, yang punya rumah sakit hehehe. Keren juga si pak dokter nyempetin visit pasien yang bukan di tempat prakteknya. Setau saya dr Ivan Sini emang nggak praktek di RS Citra Ananda, melainkan di RS Bunda Menteng. Saya tahu karena pernah nonton Youtube dr Ivan Sini mengenai kehamilan dan persalinan bareng sama DSA, dr Tiwi di RS Bunda Menteng.

Sabtu, 28 November 2015
Siang itu infus coba dicopot utk di-observe kontraksi lagi atau nggak. Alhamdulillah ga ada kontraksi lagi..
Sorenya pas kontrol lagi sama dr Ivander, dilihat jarak kepala baby masih 3 cm juga. Tapi dr Ivander bilang.. Bright side-nya, jaraknya ga tambah memendek. Kalaupun nanti harus dilahirkan di bawah 37 minggu harusnya baby sudah lebih siap dilahirkan di atas 34 minggu karena sudah sempat suntik penguat paru. Atau ada juga alternatif lain yaitu ikat rahim, nanti kalau sudah 36 minggu, ikatannya dilepas. Saya coba browsing mengenai ikat rahim. Jadi yang saya dapat info, ikat rahim itu biasanya tindakan yang dilakukan pada bumil yang leher rahimnya pendek atau yang sudah mengalami keguguran berulang. Tindakannya melalui vagina, bukan operasi/belek perut. Jadi rahim kita diikat dengan karet/benang khusus untuk mencegah rahim "terbuka" (saya kok jadi kebayang balon ya?). Tapi bayangin kemungkinan-kemungkinan itu kok saya malah ngeri ya. Ini anak pertama saya. Nggak akan ada yang tahu dampak ke depannya apa untuk rahim saya. Ibu saya pun pada saat saya ceritain alternatif tersebut, ga setuju. Ya sudahlah. Kita positive thinking, berdoa sama Allah SWT dan ikhtiar saja dengan bedrest dan jaga kondisi supaya nggak terlalu capek. Dr Ivander bolehin saya istirahat di rumah dan kurangin aktivitas. Under the circumstance, akhirnya saya putuskan untuk unpaid leave karena saya nggak mau ambil resiko. Dari kantor pun menyetujui. Istirahat bareng ibu ya, nak. Kita leyeh-leyeh dulu aja di rumah. Semoga kamu sehat, ibu pun sehat sampai setelah persalinan cukup waktu nanti. Amin YRA.

Bapak-Ibu Love you.

<TO BE CONTINUED>

No comments:

Post a Comment