Tuesday, December 30, 2014

TTC: Induksi Ovulasi dan Suntik Pemecah Sel Telur

Halo.. Sudah cukup lama ya saya nggak nulis perkembangan TTC saya dan suami. Bukan karena malas, bukan karena belum sempat.. Tapi ya karena si siklus haid yang datangnya sesuai mood dia sendiri. Hehehe.

Setelah sebelumnya saya sudah shared cerita tentang awal saya didiagnosa PCO oleh dokter, kemudian selanjutnya saya juga sempat shared mengenai treatment awal penderita PCOS yang ingin mendapatkan momongan, kali ini saya lanjutkan sharing perjalanan saya dan suami untuk punya baby ya... Hap-hap! Bismillah.. ;)

15 Desember 2014 akhirnya si haid datang juga setelah telat 2 minggu lebih. Syukur alhamdulillah! Kalau orang lain sedih jika haid datang, tapi bagi saya yang penderita PCO malah sebaliknya. Karena itu artinya bisa menjalankan rencana saya di siklus sebelumnya yaitu melanjutkan program kami ke dr Prima. Kebetulan hari itu merupakan jadwal praktek beliau. Pulang kantor, saya dan suami segera bergegas ke RS Muhammadiyah Taman Puring.

Kali itu dr Prima nggak terlalu banyak komentar, setelah USG transvagina saya diberi resep 10 butir ovestin 1 mg yang diminum 1 kali sehari dan 10 butir fensipros dengan dosis minum 2 x 1, jadi obat habis dalam 5 hari. Dua obat ini berfungsi untuk menginduksi ovulasi atau merangsang indung telur untuk menghasilkan sel telur yang matang sehingga bisa dilakukan pembuahan secara alami. Dengan pemberian obat ini saya berasa officially mulai program hamil. H+12 - H +14 saya diminta untuk datang lagi cek ukuran sel telur apakah ukurannya sudah cukup atau belum. 

Sampai hari ke-8 minum ovestin, jadwal minum obat saya masih teratur. FYI, Alhamdulillah.. Obat ini tidak ada efek samping mual dan pusing seperti 2 vitamin yang telah diresepkan dokter sebelumnya. Sampai di hari ke-9 dan ke-10 saya secara nggak sengaja absen minum obat, karena kami pergi ke Malang dan obatnya nggak terbawa. Hiks. Sempet sedih deh waktu itu. Mau beli di apotik juga nggak bisa, karena harus pakai resep dokter. Jadi ya sudahlah.. Berharap indung telur saya cukup bereaksi atas obat yang kemarin sudah diminum. Hanya saja selama di Malang, saya merasakan ada sedikit rasa mengganjal dan agak menusuk-nusuk di perut bagian kiri bawah, terutama kalau sedang jalan agak lama. Saya berusaha berpikir positif bahwa itu tandanya sel telur saya sedang membesar. Hihi.. Saya juga enggan bilang ke suami, karena nggak mau suami kepikiran dan nggak mau terkesan manja, dikit-dikit ngeluh. Gengsi ah.. Hahaha.

H+14 sepulangnya dari Malang, kami datang untuk kontrol kembali ke dr Prima. Agak deg-degan, takut perkembangan sel telurnya nggak maksimal karena obat saya masih sisa 2 butir di rumah :(
Begitu masuk ruang praktek, dokter langsung mengarahkan saya untuk cek sel telur, "Mmm.. Masih kosong nih, bu di sebelah kanan," Kata dr Prima sambil melihat ke monitor USG. Deg! Melorot deh jantung saya ke dengkul. Huhuhu.. Tuh kan! Ini pasti gara-gara minum obatnya nggak selesai deh..
"Coba kita lihat yang sebelah kiri ya, bu... Eh tuh ada 1 yang ukurannya sudah besar, sebentar.. ukurannya 19 mm nih. Bagus deh berarti indung telurnya bereaksi sama obatnya." lanjut dr Prima sambil tersenyum.
Alhamdulillah! Seneng banget rasanya liat buletan besar di monitor USG yang biasanya nggak pernah saya lihat di kontrol-kontrol sebelumnya. 
Setelah itu dr Prima cek ketebalan dinding rahim saya. Sayangnya endometrium atau dinding rahim tempat menempelnya bakal janin jika nanti sel telur bisa dibuahi milik saya ukurannya tipis. Normalnya adalah sekitar 8 mm, sedangkan ketebalan saya baru 5 koma sekian mm. Untuk itu saya diresepkan ovestin lagi dengan dosis ditambah menjadi 2 X 1 untuk 3 hari ke depan.

dr Prima juga meresepkan untuk suntik pemecah sel telur keesokan harinya. Prosedur akan dilakukan oleh suster. 24 jam setelah disuntik artinya saya ovulasi dan dokter menjadwalkan kapan kami sebaiknya berhubungan.

Biaya konsul dokter dan USG tanpa print seperti biasa Rp 340 ribu, 5 butir ovestin Rp 18 ribu saja. Nah... Ovidrel atau obat pemecah sel telurnya yang lumayan mahal nih, satu ampul Rp 890 ribu. Untuk alasan kepraktisan, kami putuskan untuk menitipkan obat tersebut di RS sampai dengan jadwal saya suntik.

Hari ini, 30 Desember 2014 jadwal saya suntik nih... Doakan saya yah, semoga bulan depan kalau haid saya tidak datang bukan lagi karena PCO tapi karena test pack menunjukkan 2 garis atau tanda positif. Amin! :)

PS. Oya, di bagian bawah nanti saya akan ceritakan juga bagaimana proses suntik pemecah sel telurnya. So, stay tuned! :D

Well, ternyata prosesnya nggak sakit dan cepat sekali. Lebih lama antri di apotik untuk ambil obatnya malah. Hehehe. Sesampai di RS dan selesai ambil Ovedril yang sengaja kami titipkan di apotik, kami segera menyerahkan ke bidan. Saya diminta untuk masuk ke ruangan dokter dan obat tersebut disuntikan di bagian bawah pusar. Rasanya perish sedikit, nggak sampai 3 menit juga sudah nggak berasa sakit lagi kok. Bismillah, artinya besok saya ovulasi nih.. Dokter kemarin menjadwalkan hubungan selang 1 hari dari sebelum dan sesudah saya disuntik. Mudah-mudahan program perdana ini langsung tokcer yaa. Amin YRA :)




Friday, December 5, 2014

Cerpen: Indigo Girl

Ada yang bilang aku punya indra keenam. Sebagian lagi menyebutku indigo...

Namaku Dru, 16 tahun. Jika dilihat dari penampilan, aku tak ada bedanya dengan remaja sebayaku. Seneng dengerin Radio Prambors, susah bangun pagi, hobi jalan-jalan sama teman dekatku saat weekend, pokoknya nggak seperti gambaran sutradara film yang mengangkat cerita anak indigo lah.

Aku bahkan tak yakin apakah memang benar aku punya bakat supranatural seperti kata beberapa "orang tua" yang sering datang ke rumahku. O ya, ayahku memang sedikit nyentrik. Ia suka hal yang berbau klenik. Sebagai pemilik perusahaan percetakan yang cukup besar di Bandung, ia seringkali konsultasi dengan penasihat spiritualnya sebelum mengambil keputusan bisnis. 

Ayah punya penasihat spiritual lebih dari satu. Mereka datang silih berganti ke rumahku. Ada yang penampilannya religius dengan memakai sorban dan berpakaian panjang warna putih, ada yang penampilannya menurutku lebih mirip seperti tukang pukul karena badannya yang tinggi besar, berkulit hitam dengan kumis dan jenggot yang menutupi sepertiga bagian wajahnya, lalu ada juga wanita paruh baya yang dandanannya super menor dan jika datang ke rumah selalu menawarkan barang yang katanya berkhasiat untuk kesuksesan, wibawa, tolak bala, dan lain-lain. 

Satu persamaan dari penasihat spiritual ayahku itu ialah pendapat mereka tentangku. Katanya aku adalah anak yang 'berbeda', punya 'kemampuan' dan semacamnya. Biasanya mereka mengatakan itu sambil mengernyitkan dahi, menaikkan satu alis, melihatku dari atas ke bawah, beberapa mencoba berbagi tenaga dalam denganku yang aku sendiri tidak mengerti maksudnya apa, ada juga yang menuliskan tulisan arab gundul dan memintaku untuk menyimpannya di dompet, "Auramu agak berbeda, Dru." Begitu katanya. Ia juga memintaku untuk tidak meninggalkan solat serta melafalkan beberapa doa tertentu seusai solat. "Kau bisa jadi orang yang kuat luar biasa, namun jika kekuatanmu tidak diimbangi dengan iman, kekuatanmu bisa kau gunakan untuk sesuatu yang salah." Aku pun keluar dari kamar ayah dengan rasa Clueless dan masa bodoh atas apa yang kudengar barusan. Paling hanya ingin cari muka ke ayah seperti yang lainnya, pikirku.

Tidak. Aku tak bisa baca pikiran. Aku juga tak bisa lihat makhluk gaib seperti Nita, teman sekelasku. Amit-amit deh. Tidur sendiri saja aku masih sering ketakutan. 
Walaupun terkadang, aku bisa merasakan kehadiran mereka di tempat-tempat tertentu. Ada yang hawanya dingin membuat bulu tengkuk berdiri, ada juga yang berhawa panas membuatmu ingin segera pergi dari tempatmu berdiri. Apakah itu bisa dibilang aku termasuk anak indigo? Aku rasa tidak.
Meskipun tak bisa kupungkiri memang ada beberapa kejadian aneh yang membuatku berpikir aku sedikit berbeda dari orang kebanyakan. Seringkali apa yang ada di dalam pikiran dan yang kuucapkan benar-benar menjadi kenyataan. Buruknya ini hampir selalu berdampak ke orang yang berseberangan pendapat denganku dan membuat hatiku kecewa. Kebanyakan dari mereka mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Padahal sekesal-kesalnya aku dengan orang lain, pada dasarnya aku bukanlah pendendam. Hari ini aku bisa merasa kesal dengan seseorang, keesokannya paling aku sudah lupa. Namun entah mengapa apa yang ada di pikiranku saat aku merasa kesal, akhirnya benar-benar menimpa orang tersebut.
Contohnya, pernah aku merasa kesal dengan seseorang yang bersikap menghakimi saat Bimo, pacarku tak sengaja menyerempet pengendara motor yang memotong mobil kami dari sisi kiri. Saat berdebat dengan bapak yang ternyata cukup dituakan penduduk kampung sekitar, sempat terucap dari mulut saya, "Pak! Kami ini mau bertanggung jawab lho! Jangan menarik-narik kerah pacar saya seolah kami mau kabur! Ayo bicara baik-baik. Coba kalau bapak ada di posisi kami. Lihat saja nanti." 3 hari berselang, aku mendengar kabar bahwa bapak tersebut mengalami kecelakaan motor dimana ia dalam posisi yang menabrak namun yang menderita luka cukup parah adalah dirinya sendiri. Ada pendarahan di otaknya yang menyebabkan tubuhnya lumpuh di bagian bawah. Motor yang ditabraknya, melihat kondisi bapak itu cukup parah langsung melarikan diri. Aku sempat shock mendengar kabar tersebut. Sungguh bukan maksudku untuk mendoakannya celaka.

Dan ini bukan kali pertama. Waktu itu pernah sehabis bertengkar dengan tanteku yang datang dari luar kota dimana sebetulnya hubungan kami amat dekat, dengan emosi aku membatin agar semoga ia cepat-cepat pulang ke kotanya. Aku tak ingin melihatnya lagi di rumahku. Sayangnya permintaanku benar-benar didengar Yang Maha Kuasa. Malamnya tanteku mengalami gagal jantung, sempat akan dibawa ke UGD, namun di tengah perjalanan nyawanya sudah tak tertolong lagi. Setelah kejadian itu aku sempat mengurung diri di kamar selama hampir sebulan karena merasa amat bersalah. 

Lalu ada satu kejadian yang sampai saat ini masih kusimpan rapat-rapat. Aku takut jika sampai ayah atau ibu tiriku tahu akan hal ini, mereka akan membenciku. Sewaktu aku mendengar bahwa ibu tiriku mengandung anak ayah, sebagai anak tunggal ada perasaan iri tumbuh di hatiku. Saat memandang perut ibu tiriku, aku berdoa agar jabang bayi yang ada di dalamnya tidak berkembang, aku tidak ingin nanti saat adikku lahir, perhatian ayahku akan terbagi dengannya. Suatu saat di usia kehamilannya yang ketujuh, saat aku sedang bersimpuh di dekat ibu tiriku, kuelus perutnya sambil membayangkan seandainya adikku ini gugur, lahir lebih cepat dan tidak selamat. Sungguh bahagianya hatiku. Ayahku tentu akan mencurahkan seluruh perhatiannya kepadaku. Hanya kepadaku. Malamnya aku terbangun karena ayah masuk ke kamarku dengan tergesa-gesa, nada suaranya cepat dan sedikit khawatir, "Dru, ibu mengalami pendarahan. Ia terjatuh di kamar mandi. Kamu tunggu di rumah saja ya sama Bik Iyem. Nanti Ayah kabari bagaimana kondisi ibu dan adikmu. Doakan tidak ada apa-apa ya, nak."
Dini hari melalui telepon ayah memberitahu bahwa ibu baik-baik saja, begitu pula dengan adikku lahir dengan selamat namun ada kondisi yang belum diketahui akibat kelahirannya yang prematur sehingga perlu terus dipantau dokter. Ada rasa terharu saat keesokannya aku diizinkan melihat adik kecilku di inkubator. Ia begitu mungil dan tidak berdosa. Air mataku mengalir di pipi saat mendengar vonis dokter bahwa adikku ternyata menderita down syndrome. Ayahku memegang erat pundakku, "Jangan bersedih, Dru. Nanti kita yang akan bersama-sama merawat adik ya. Melatihnya menjadi pribadi yang manis dan mandiri seperti dirimu." Air mataku pun langsung jatuh dengan lebih derasnya.


Thursday, November 20, 2014

Cerpen: Rindu KemARAu Akan Datangnya Hujan

"Seperti apakah hujan itu?"

Ara menengadahkan kepalanya ke atas dan melihat ke langit yang cerah dimalam itu.
Seumur hidupnya, Ara belum pernah merasakan yang namanya hujan.
Belum pernah menikmati sensasi lembutnya air yang menyapu kulit saat tetes hujan mengalir turun ke bawah.
Belum pernah mendengar alunan musik indah yang timbul dari rintik hujan yang jatuh menyentuh tanah.
Belum pernah menikmati indahnya lukisan alam yang terbuat dari titik embun di atas dedaunan hijau.
Belum pernah merasakan damainya jiwa saat tubuh meringkuk di balik selimut atau nikmatnya secangkir hangat susu coklat saat hujan tiba.
Belum pernah menghirup segarnya udara seusai hujan reda.

Radit, suami Ara yang datang dari negeri yang mengenal hujan seringkali menceritakan hal-hal tersebut kepadanya di malam hari sebelum mereka terlelap. Ara senang mendengarkan cerita Radit sambil menyandarkan kepala di bahu Radit. Sementara tangan mereka saling bergenggaman, Ara tak jarang membayangkan cerita Radit menjadi nyata. Membayangkan gradasi warna biru keabuan yang mungkin terjadi di atas langit sana. Membayangkan bagaimana komposisi awan yang berbaur menjadi satu membentuk gumpalan besar. Membayangkan hawa sejuk yang menerpa wajahnya. Membayangkan bagaimana ia berlari-lari kecil mencari tempat yang teduh saat air hujan mulai ditumpahkan ke bawah oleh Penciptanya.
Memang betul seperti kata Radit, Ara percaya bahwa hujan tak selalu seindah itu. Terkadang ada gelegar dan kilatan petir yang memekakkan telinga dan menyilaukan mata. Lalu ada pula air bah yang terkadang merenggut senyum insan manusia. Namun semua resiko itu rela ditempuh Ara yang memang belum dikaruniai anugerah untuk merasakan hujan.

Dalam setiap doanya menjelang tidur dan saat membuka mata di pagi hari, Ara selalu menyelipkan keinginannya untuk dapat merasakan hujan. Ia berkhayal bahwa satu doa yang dikirimkannya adalah satu tetes hujan yang nantinya akan jatuh ke bumi. Ia berharap semakin sering ia mengirimkan doanya ke atas langit, semakin besar pula kesempatan doanya didengarkan Gusti Allah. 

Seperti malam-malam sebelumnya, seusai Ara terlelap setelah mendengar dongeng mengenai hujan, Radit selalu mengecup dahi Ara dan berbisik di telinganya, "Sayangku Ara, jangan pernah berputus asa. Percayalah, di belahan dunia manapun bahkan musim kemARAu yang terpanjang pun pasti akan merasakan datangnya sapuan hujan. Jika saat itu datang ketahuilah aku akan selalu ada di sisimu. We'll dancing in the rain together.. Side by side.. You and I."

Monday, November 17, 2014

TTC: Hasil Tes Darah, HSG & Cek Ukuran Sel Telur

Nah.. Akhirnya bisa nulis juga tentang kelanjutan usaha saya dan suami untuk dapetin baby setelah lebih dari sebulan yang lalu saya sempet nulis tentang program hamil saya yang terdiagnosis PCO
Bukan karena males atau belum sempet nulis blog, cuma memang siklus mens saya yang mundur (lagi) selama 2 minggu, membuat saya jadi belum bisa ngelakuin test darah dan HSG sesuai rujukan dokter, jadi belum ada yang bisa saya update deh -_-

Setelah akhirnya haid di tanggal 24 Oktober 2014 lalu, atas rujukan dokter, pada H+2 HPHT saya segera melakukan test darah untuk mengetahui hormon mana yang tidak seimbang yang menyebabkan saya terdiagnosis PCO. Dr Prima merujuk saya untuk di-test hormon FSH, Estradiol, Prolaktin dan Insulin. 
Tips dari saya: Test darah ini sebaiknya dilakukan pagi hari karena memerlukan puasa dulu sebelumnya selama kurang lebih 8 jam. Jadi jika test dilakukan pagi hari, kita cukup melewatkan sarapan pagi saja nggak perlu pake puasa.

Biaya untuk test darah ini cukup mahal menurut saya, yaitu Rp 1.720.000,-. Saya nggak tahu deh kalau test di laboratorium seperti Prodia kenanya lebih mahal atau lebih murah dari di rumah sakit. Prosesnya sebentar banget nggak sampai 20 menit. 
Setelah daftar ke lab dan melakukan pembayaran, suster mengambil darah saya sebanyak 2 tabung kecil. Setelah selesai test darah, saya sekalian bikin janji untuk tindakan HSG yang ditentukan H+9 dari HPHT.

HSG pada dasarnya adalah tindakan menyuntikkan cairan melalui vagina dengan cairan yang dinamakan kontras, untuk mengetahui apakah ada penyumbatan pada rahim dan saluran reproduksi kita. Selain itu katanya sih HSG juga dapat berfungsi untuk membuka perlengketan ringan yang mungkin terjadi di saluran reproduksi kita.
Pada hari H saya diminta untuk datang setengah jam sebelum tindakan dan diminta untuk membawa selembar pembalut. 
Tips dari saya: Jangan sampai ketinggalan surat rujukan HSG dari dokter ya, karena biarpun sudah buat appointment sebelumnya untuk HSG, jika tidak membawa surat rujukan akan diminta untuk buat surat rujukan lagi ke dokternya.

Sebelum HSG, saya memang sudah cukup banyak cari info mengenai tindakan ini. Tujuannya sih lebih untuk menyiapkan mental. Dari info yang saya dapat dari artikel atau blog, reaksi tubuh seseorang terhadap tindakan ini beragam. Ada yang tidak merasakan sakit sama sekali, ada yang merasakan sakit mules seperti saat haid hari pertama, bahkan ada yang sampai pingsan dan masuk UGD.

Saat masuk ke ruangan radiologi saya diminta untuk melepaskan baju serta pakaian dalam dan menggantinya dengan jubah seperti bathrobe namun cara memakainya terbalik. Sambil menunggu dokter, saya ditemani seorang suster yang untungnya cukup ramah sehingga membuat saya cukup rileks.
Setelah dokter datang saya diminta untuk berbaring dengan posisi telentang dan posisi kaki seperti sedang di-USG transvagina.
Dokter mengoleskan cairan ke sekeliling bagian bawah saya sementara suster masih asyik mengajak saya ngobrol seakan ingin mengalihkan perhatian supaya saya tidak terlalu tegang. Meskipun saya ngerasanya baik-baik aja, namun suster sempat memegang paha saya dan menahannya agar posisinya lebih terbuka serta meminta saya untuk tidak tegang saat kateter/selang kecil dimasukkan melalui bagian bawah, karena katanya hal tersebut dapat menyebabkan kateter sulit masuk. 
Saat kateter mulai masuk, meski sudah merasa tidak nyaman namun saya masih bisa menanggapi pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan suster. Namun saat dokter mulai menyuntikan cairan kontras melalui selang tersebut, saya segera terdiam karena rasanya sakitttt sekali. Sakitnya seperti mules saat sedang haid, tapi lebih sakit lagi. Saat cairan masuk ke dalam, rasanya seperti menusuk sampai ke kepala. Suster tersenyum, "Mulai sakit ya bu? Tarik napas dan hembuskan lewat mulut aja ya, Bu." Kata suster menenangkan. Entah karena suhu di ruangan tersebut dingin atau memang efek samping dari HSG, tubuh saya langsung bergetar cukup hebat. Saya coba menenangkan diri dengan dengan mengikuti anjuran suster. "Kalau sakit itu artinya bagus, bu. Artinya cairannya masuk. Insyaallah nggak ada penyumbatan." Kata suster lagi.
Setelah cairan berhasil masuk, dokter segera melakukan rontgen di bagian panggul saya sebanyak 2 - 3 kali.
Proses HSG sendiri jika tidak ada kendala apa-apa, hanya berlangsung kurang lebih setengah jam. Saya diminta berbaring sejenak setelah proses selesai. Sakitnya sih berangsur-angsur hilang saat kateter dilepas dari bagian bawah. Saya dengan setengah ngesot berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan memakai pembalut. Suster menginfokan bahwa ada kemungkinan 2-3 hari ke depan akan keluar flek-flek darah, namun itu wajar jadi tidak usah kuatir.

Sebenarnya hasil HSG bisa keluar saat itu juga, namun sayangnya hari itu dokter saya tidak praktek, jadi saya memutuskan untuk ambil hasilnya bertepatan dengan jadwal praktek dokter saya saja agar bisa sekalian konsul mengenai hasil cek darah dan HSG-nya.

Hari Senin, 10 November 2014 saya dan suami datang ke rumah sakit untuk konsul dengan dokter setelah sebelumnya ambil hasil HSG dan test darah. Menurut dokter hasil test darah saya masih dalam batas normal, dengan kata lain seharusnya tidak ada hormon imbalance dalam tubuh saya, malah hasil hormon Prolaktin saya menunjukan sedikit lebih kecil dari bawah garis normal, padahal biasanya pada penderita PCO indikator angka untuk hormon ini umumnya jauh lebih besar dari batas atas normal.
HSG saya pun alhamdulillah menunjukan bahwa tidak ada masalah di organ reproduksi saya. Disebutkan bahwa menurut hasil HSG, kedua tuba falopi saya paten alias tidak ada penyumbatan, dengan bentuk dan ukuran uterus dan cervix normal.

Dengan hasil tersebut dokter coba lakukan pengecekan kembali atas ukuran sel telur saya yang menurut dokter di masa itu sudah masuk masa subur. Saat di USG transvagina, indung telur sebelah kanan saya surprisingly tidak lagi dipenuhi bulatan kecil sel telur yang tidak matang, kondisinya bersih dibanding hasil USG saya bulan lalu. Kabar buruknya di indung telur tersebut tidak ada sel telur sama sekali. Sementara di indung telur sebelah kiri tampak ada beberapa telur kecil dan ada 1 sel telur yang ukurannya sedikit lebih besar dari yang lainnya, meskipun kata dokter ukurannya belum mencukupi untuk dibuahi. Ukuran sel telur yang cukup untuk dibuahi minimal 18mm, sementara ukuran sel telur saya baru 12mm. Untuk itu dokter menyarankan saya untuk konsul lagi akhir minggu dengan harapan ukuran sel telur saya sudah bertambah, sehingga sudah cukup untuk diberikan suntik pemecah sel telur.
Kali ini kami tidak diresepkan apa-apa, sehingga biaya obat untuk konsul dan USG Transvagina kali ini hanya Rp 340.000,-. Dokter berpesan agar saya dan suami tetap meneruskan minum vitamin yang sudah diresepkan sebelumnya. Terus terang saya dan suami tidak lagi meneruskan minum vitamin tersebut, karena saya (terutama) tidak kuat dengan efek mual dan pusingnya. Sebagai gantinya saya dan suami rutin minum multivitamin Mega Formula dari Sun Hope yang mengandung Royal Jelly dan minyak gandum serta Salmon Oil. Selain itu saya sendiri mulai membiasakan diri untuk minum jus wortel, tomat dan jeruk setiap hari serta mengkonsumsi sesendok kayu manis dicampur madu dan air hangat setiap pagi. 

Hari Sabtu, 15 November 2014 kami kembali mengunjungi dokter untuk konsul untuk cek kondisi sel telur. Sedikit kecewa dengan hasilnya karena ternyata ukuran sel telur saya di sebelah kiri tidak bertambah dari 12mm sementara yang sebelah kanan juga tidak ada perubahan. Dokter minta kami cek kondisi sel telur lagi minggu depannya dengan harapan ada penambahan ukuran sel telur. Jika sampai tidak ada perubahan lagi, maka dokter akan meresepkan obat pembesar sel telur yang harus saya konsumsi saat haid nanti. 
Suami dan saya akhirnya sepakat tidak datang konsul untuk cek ukuran sel telur lagi minggu depannya karena menurut kami lelah juga bolak-balik ke dokter setiap minggu. Bukan lelah fisiknya, tapi lelah hatinya. Hehehe. Kami coba berpasrah saja dan usaha alami dulu minggu ini, tetap berharap ada mukjizat siapa tahu kami sudah diberi kepercayaan untuk mendapatkan momongan di akhir tahun ini. Kami berencana rutin konsul lagi jika di akhir bulan ini saya masih haid, sehingga bisa langsung diberi resep obat pembesar sel telur oleh dokter.

Malamnya saat suami tidur, saya melihat wajahnya, sedikit ada rasa sedih tapi saya tahu bahwa dengan bersedih nggak akan ngubah keadaan. Dengan bersedih saya malah bikin suami saya juga ikut kepikiran. Maka saya coba telan kesedihan saya dalam hati saja dan mulai memanjatkan doa. Insyaallah.. Saya yakin kami bisa dalam waktu dekat punya momongan. Insyaallah :)

Sunday, November 9, 2014

Cerpen: Bayang Masa Lalu Sara

Butiran hujan menetes turun di balik kaca. Sara menyeruput pelan toffenut latte-nya sembari melirik sekilas ke jam tangannya. Ah, waktu... Andaikan manusia memiliki kuasa untuk mengatur cepat lambatnya waktu, memutar ulang ke belakang untuk memperbaiki runutan sejarah dalam hidup mereka, akankah semuanya menjadi lebih baik? Akankah mereka semua berakhir bahagia, ataukah yang terjadi malah sebaliknya? 

Layar telepon genggam Sara menyala dan menampakkan nomor yang dikenalnya. Jantungnya berhenti sejenak dan kemudian berdetak sedikit lebih cepat. Nomor yang beberapa bulan belakangan ini selalu ditunggu-tunggunya, namun tiap kali nomor itu muncul di layar telepon genggamnya, batinnya selalu berperang. Pertarungan hebat antara perasaan dan logikanya. Should I pick up.. or should I not?

Nomor itu adalah nomor seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang masih jelas dalam ingatan Sara pernah menatapnya dengan hangat dan menggenggam tangan mungilnya dengan erat. Seseorang yang juga telah meninggalkannya dalam gelap, sendiri dan membuatnya mempertanyakan pantaskah dirinya dicintai? Seseorang yang seharusnya cukup menjadi masa lalunya. Seseorang yang fotonya pantas ditaruh di dalam boks usang di atas lemari pakaiannya selama ini.

Pertarungan batinnya masih berlangsung seiring dengan nyala lampu di layar telepon genggamnya, seakan menunjukkan kekuatan hati sosok si penelepon yang tak ingin menyerah begitu saja. Sara menekan tombol silence. Hatinya masih tak sanggup untuk menekan tombol reject. "Mengapa logikaku tak pernah menang dalam hal ini?" protesnya dalam hati. God is strangely humorous in His own way, pikirnya. Di saat ia mengira dirinya sudah cukup kuat berdiri di atas kakinya, di saat ia merasa sudah dapat mengendalikan semua variabel dalam hidupnya, di saat ia merasa yakin hidupnya sudah seimbang di usianya yang ke-33 ini, seorang Associate Sales Director di salah satu hotel terkemuka di Jakarta, di situlah Tuhan memutuskan untuk menarik satu variabel ke tengah-tengah kehidupannya yang "sempurna". Variabel itu adalah Reno. Sang mantan. Reno yang saat ini sudah menikah dan sedang mengalami prahara dalam rumah tangganya. Reno yang bercerita ingin melayangkan gugatan cerai kepada istrinya karena merasa sudah tidak dapat lagi menyatukan perbedaan antara mereka berdua. Hilang sudah keseimbangan dalam hidup Sara. Terombang-ambinglah kekuatan hatinya. 

Harusnya Sara mampu mengabaikan Reno seperti ia mampu mengabaikan beberapa laki-laki yang pernah mengajaknya melangkah ke hubungan yang lebih serius. "Untuk apa? Aku sudah bahagia seperti ini. Hidup sendiri. Mandiri. Membuka hati untuk seseorang artinya membuka peluang untuk disakiti lagi. Terpuruk lagi." Namun mengapa hal ini tidak berlaku untuk Reno? Sedalam itukah rasanya kepada Reno? Sara tersenyum kecil saat tercetus dalam pemikirannya akan kata "Rasa". Rasa apa? Sayang? Cinta? Terhadap siapa? Seseorang yang pernah menghilang beberapa tahun silam, seseorang yang memilih untuk mengambil jalan yang terpisah darinya, seseorang yang bahkan tidak berani mengambil sikap untuk berdiri di sampingnya. Pantaskah Reno mendapatkan pengampunan darinya? Tapi pengampunan seperti apa bila dalam hati Sara sudah tak ada lagi rasa benci terhadap Reno. Semuanya sirna tepat saat Sara mengenali suara di ujung telepon malam itu, kala pertama kali Reno mencoba menghubunginya kembali.

"Coba berpikir praktis, Sar. Reno sedang ada masalah dengan istrinya. Berani taruhan jika dalam beberapa bulan ke depan masalah dengan istrinya sudah selesai, ia pasti akan kembali ke pelukan istrinya lagi. Meninggalkan kamu sendiri seperti saat dulu ia pernah meninggalkanmu. Lalu apa yang kamu dapat? Nggak lebih dari sakit hati." Sara teringat nasihat sahabat karibnya, Tya di suatu siang saat sedang makan bersama. Secara akal sehat, ia sepenuhnya setuju dengan Tya. Mungkin jika ia berada di posisi Tya, ia juga akan memberikan nasihat yang sama persis. Namun Tya tidak merasakan ikatan kuat yang ia rasakan dengan Reno saat mereka mengobrol tengah malam mengenang cerita di masa lalu atau mendiskusikan segala hal dari yang remeh temeh hingga ke topik yang lebih serius. Segalanya terasa nyata. Terasa hangat. Terasa benar. Bahkan hanya sekedar obrolan tengah malam seakan-akan menjadi penyemangat Sara dalam menjalani kehidupan. Sara seperti menemukan tempat untuk berbagi dan bercerita. Reno tak harus melakukan apa-apa. Dengan kehadiran Reno di hidup Sara saja sudah cukup baginya. Ia tak lagi merasa harus menanggung semuanya sendiri. Reno membuat hidup Sara terasa lebih bermakna.

Wanita di ujung sana yang mendampingi Reno setiap malam, membayangkannya saja sudah membuat hati Sara perih, seperti luka terbuka yang disiram dengan alkohol. Ini tidak semudah menentukan mana warna hitam dan mana yang putih. Sara menolak di cap sebagai tokoh antagonis seperti tokoh di sinteron TV lokal. Karena ia pun memiliki hati yang rapuh. Ia juga merasakan sakit sama seperti rasa sakit yang dialami perempuan itu. Jika boleh jujur mana ada perempuan yang ingin dijadikan yang kedua? Tapi apakah dengan begitu artinya Sara harus mengingkari semua yang ia rasakan selama ini? Haruskah Sara menekan apapun itu yang terlanjur tumbuh kembali di relung hatinya? Bukan dirinya yang memilih berada di tempat itu. Sara sudah mencoba berkali-kali lari dari bayang-bayang Reno. Namun entah dengan cara bagaimana, Tuhan selalu punya cara untuk mempertemukan mereka kembali. Berkali-kali Sara bertanya dalam doanya, dalam tangisnya, "Mengapa jalan ini yang Kau pilihkan untukku, Tuhan? Berulang kali aku mencoba memilih jalan lain, mencoba berpaling darinya, mencoba mengingkarinya, namun tanganMu selalu menggiringku kembali ke sisinya. Apakah ini memang jalan dariMu, Tuhan? Mengapa Kau pikir aku kuat untuk menjalani semua ini?"

Apakah ada masa depan antara dirinya dan Reno? Kalaupun ada, akankah semudah itu? Beranikah Sara berharap? Sanggupkah dirinya menghadapi tekanan publik, stereotype masyarakat, dan kecaman dari beberapa pihak yang merasa dirinya paling benar. So much for being the antagonist one, right? Tidakkah mereka sadar semakin mereka merasa paling benar dan mengecam Sara yang duduk di kursi penyakitan tak akan menjadikan mereka sebagai orang yang baik dan tanpa cela, kan?
Sara pernah berandai-andai jika saat itu tiba, saat dimana dirinya dan Reno dapat bersatu, akankah Sara punya hak untuk membela diri, ataukah baiknya ia diam membiarkan semua orang itu bercerita dengan versi mereka masing-masing? Cukup ia, Reno dan Tuhan yang tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Jika saat itu benar-benar tiba, akankah Reno kembali meninggalkannya lagi seperti dulu? Apakah Sara cukup berani untuk mengambil resiko tersakiti lagi?
Jika memang benar mereka akhirnya dapat bersatu kembali, mungkinkah di  kemudian hari salah satu dari mereka akan menyesali keputusan yang mereka ambil? Padahal yang Sara inginkan bukanlah sesuatu yang neko-neko. Mungkin kedengarannya cliche,  namun yang ia inginkan hanyalah kebahagiaan Reno. Dengan atau tanpanya, ia hanya ingin Reno bahagia.
Terlepas dari benar atau salah, Sara meyakini bahwa Reno akan lebih bahagia bersamanya dibandingkan dengan perempuan itu, karena baik Sara maupun Reno benar-benar percaya bahwa apa yang mereka miliki adalah sesuatu yang tidak semua pasangan miliki. Kekuatan batin mereka sungguh kuat terjalin. Hati mereka sudah begitu tertaut, hingga tak ada celah lagi di antaranya. Namun sayangnya semua ini bukanlah keputusan Sara sendiri. Bukan hak Sara untuk menentukan. Saat ini Sara hanyalah orang luar.

Akhirnya nyala di layar telepon genggam Sara berhenti dan membuat Sara terjaga dari lamunannya. Ia menghembuskan napas panjang, "Sampai kapan Reno akan terus berusaha menghubungiku kembali? Sampai pada satu titik, ia pasti akan menyerah pada penolakanku. Bila saat itu datang, mungkin aku bisa tersadar dari mimpiku untuk dapat bersama dengan dirinya." Pikir Sara. Kembali ia menyeruput minumannya dan menyandarkan kepalanya ke sofa yang didudukinya. Sara membiarkan matanya menerawang dan pikirannya terbang sesuka hati mereka, tepat pada saat itu sebuah tepukan halus menyapu pundak Sara. Refleks Sara mengangkat wajahnya dan mendapati sosok wajah yang sangat dikenalnya. Seulas senyum yang menghiasi wajah sosok tersebut secara tidak langsung memicu gelombang emosi di dada Sara. Pelupuk matanya dibasahi air mata dan dengan susah payah ditahannya. Ribuan kata berputar di benak Sara namun tak ada satupun yang dapat keluar dari mulutnya. Reno duduk di samping Sara dan menggenggam lembut tangannya, "Aku menepati janjiku. Menghubungimu setelah semuanya selesai. Mencarimu kembali setelah berhasil menetapkan pikiran dan hatiku. Aku datang kepadamu setelah melewati serangkaian doa, peristiwa dan pemikiran yang tidak mudah namun semuanya mengarah padamu. Sama halnya denganmu, seberapapun usahaku berpaling, petunjuk yang kudapat selalu tentangmu. Tidakkah terpikir di benakmu bahwa ini saatnya bagi kita untuk tak lagi berusaha mengingkariNya dan pasrah mengikuti jalan yang telah Tuhan tetapkan untuk kita berdua?"


Catatan: Cerita ini terinspirasi dari kejadian nyata. Persamaan karakter dan cerita bisa jadi diambil berdasarkan kisah yang didapat penulis dari berbagai sumber, dirangkai menjadi satu dengan beberapa pengembangan detail.

Wednesday, October 29, 2014

Tokoh "Sengkuni" Dalam Kehidupan Saya

Saya ingin bercerita tentang seseorang yang (sayangnya) harus saya kenal dan hadir dalam kehidupan saya.
Seumur hidup, baru sekali saya bertemu dengan tipe orang seperti ini dan semoga tak akan lagi harus bertemu dengan orang semacam dia.
Saya termasuk orang yang percaya bahwa dalam setiap tindakan, baik itu tindakan yang dikategorikan tindakan buruk maupun baik oleh khalayak, pasti ada alasan di baliknya. Saya sendiri tipe orang yang cuek, selama tindakan orang tersebut tidak mengganggu saya sih menurut saya sah-sah saja, silahkan saja.
Namun berbagai kejadian yang kebetulan bersinggungan dengan orang ini, selalu saja membuat saya mbatin. Ngelus dada, "Kok ada ya orang yang seperti itu?"

Kalau ada orang yang nanya, emang orangnya seperti apa sih? Kok sepertinya "Luar Biasa" sekali?
Well, betul. Orangnya memang luar biasa unik. Sampe saya ngerasa perlu nulis topik untuk orang ini. Saya harap ini pertama dan terakhir kalinya saya mengangkat topik tentangnya.
Kalau diminta untuk menggambarkan seperti apa sih karakter dari orang ini, mungkin saya akan merujuk pada sosok "Sengkuni".
Bagi yang suka cerita wayang seperti saya yang sedari kecil sudah terbiasa dicekoki ayah saya dengan komik karangan R.A. Kosasih, pasti sudah familiar dengan tokoh "Sengkuni" ini. 

Dalam dunia perwayangan, karakter Sengkuni ini digambarkan sebagai sosok yang licin, licik, hasut dan penuh tipu muslihat. Ia adalah paman sekaligus mahapatih dari Kerajaan Hastinapura yang dikuasai oleh Kurawa.
Ia digambarkan sebagai tokoh yang berperan banyak dalam mengajarkan berbagai akal licik serta tipu muslihat kepada para Kurawa untuk mencapai tujuan tertentu. Contoh perbuatan buruknya adalah menghasut Kurawa untuk meracuni Bima salah satu tokoh Pandawa hingga pingsan untuk kemudian dilemparkan ke dalam Sumur Jalatunda yang penuh ular berbisa. Alih-alih celaka, tubuh Bima yang dipatok ular berbisa malah menjadi kebal dan bertambah kuat karena racun yang diberikan para Kurawa sebelumnya. 
Tipu muslihat lain yang dilakukan Sengkuni adalah saat memperdaya Pandawa dengan kecurangannya dalam bermain judi sehingga menyebabkan Pandawa Lima harus menjalani hukuman menjadi orang buangan selama belasan tahun.

Jika dibandingkan dengan tokoh Sengkuni yang ada di kehidupan saya, orang inilah yang telah "berjasa" mengajarkan dan secara tidak langsung menularkan berbagai cara tipu daya dan kelicikan kepada orang terdekat saya sehingga secara tidak langsung menjerumuskannya ke dalam kesulitan. 
Sedih rasanya saya melihat bagaimana orang terdekat ini bisa dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga membuat ia tidak sadar bahwa pola pikir yang dijalaninya selama bertahun-tahun itu melenceng dari pola pikir umum yang seharusnya, prinsip hidup yang dulu dijalaninya seolah-olah sama persis seperti prinsip hidup tokoh Sengkuni dalam pewayangan: Biarlah yang lain menderita yang penting dirinya bahagia. 

Sengkuni dalam pewayangan digambarkan sebagai sosok yang munafik, tampil sebagai manusia cerdik terdidik, terampil bicara sehingga mudah meraih simpati dan mendapat kepercayaan dari orang. 
Hal ini juga tidak jauh beda dengan si Sengkuni dalam kehidupan nyata saya. Orang ini tergolong terampil bicara, suka tampil, over PD kalau boleh saya katakan, pintar berbohong dan memanipulasi. Dalam mencapai tujuannya, dia bisa lho menggunakan media sosial orang lain dan menulis pesan seolah-olah orang itu yang menulis sendiri. Jadi misalnya nih kalau saya umpamakan sebuah kejadian dimana saya adalah si Sengkuninya dan saya nggak suka teman saya deket sama orang tertentu. Saya akan lakukan berbagai cara untuk menjauhkan orang tersebut dari teman saya. Misalnya dengan login ke medsos milik teman saya dan menuliskan pesan ke orang yang dituju dan mengatakan berbagai macam hal yang tidak sebenarnya dengan mengatasnamakan teman saya sebagai pemilik medsos tersebut. Ck ck ck.. Ada-ada saja ya akal muslihat orang itu? 

Ia juga pandai berbohong (atau munafik ya lebih tepatnya?). Contoh kasusnya saya buatkan perumpamaan ya. Katakanlah orang yang makan roti itu adalah suatu perbuatan yang dicap buruk oleh masyarakat. Maka ia bisa dengan tanpa hati melabeli orang-orang yang makan roti tersebut sebagai makhluk yang rendah. Ia bisa tanpa henti melancarkan "petuah" dengan membawa dalil agama seolah-olah dialah orang yang paling benar. Namun pada kenyataannya ia sendiripun termasuk orang yang menyimpan banyak roti dirumahnya!
Ia juga tipe orang yang bisa mendua dengan sahabat dari pasangannya sendiri. Ia bisa berusaha menjalin pertemanan dengan pasangan dari orang yang sebenarnya ada affair dengannya. Orang ini juga pandai menceritakan kisah yang membuat orang lain trenyuh dengan tidak menceritakan latar belakang sebenarnya dari kisah tersebut. Ia bisa tampil bak pahlawan bagi beberapa orang, padahal sebenarnya ia lah yang mendapat manfaat dari orang yang ditolong tersebut. Ia termasuk orang yang bisa meminjamkan pensil 2 B kepadamu, namun sebagai gantinya ia minta bolpen Parker-mu. Ia adalah tipe orang yang bisa berbicara banyak hal tentang ketuhanan dan dosa-dosa yang dibenci Tuhan sambil menenggak botol minuman beralkohol. Astaga! Seperti yang saya bilang di atas, kok bisa ya ada orang yang seperti itu? 

Namun saya percaya bahwa sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh juga. Semua orang baru yang mengenalnya jika terus menerus bergaul dekat dengannya pasti akan sadar dengan sendirinya, cerita mana yang benar dan mana yang tidak. 

Kembali lagi ke tokoh Sengkuni dalam dunia perwayangan nih, setahu saya cerita wayang itu mengandung filsafat yang dikemas dalam wujud kesenian. Tokoh-tokoh seperti Sengkuni merupakan personifikasi dari sifat manusia licik dan penuh intrik. Ia bersembunyi di balik kedok orang yang santun, relijius, ramah namun di balik itu penuh akal bulus dan munafik. Sadly to say.. Semua personifikasi yang ada di dalam diri Sengkuni, semuanya ada di watak orang tersebut. 
Saya cuma berharap, semoga di kemudian hari saya tidak perlu lagi berurusan lebih jauh dengan orang ini (dan orang-orang yang sejenis dengannya), karena saya yakin dengan membuka sedikit peluang berhubungan dengan orang seperti ini akan lebih banyak mendatangkan kemudharatan dibandingkan manfaat.
Saya juga berharap semoga orang ini cepat disadarkan ke jalan yang benar supaya nggak ngeribetin hidup orang-orang biasa seperti kami yang masih juga belajar memperbaiki diri. Amin YRA.




Sunday, October 26, 2014

Reminiscing Babel

Jalan-jalan ke Bangka Belitung kali ini sebenarnya nggak direncanakan. Tadinya saya pengen nabung supaya akhir tahun bisa jalan-jalan ke tempat lain, eh kok ndilalah dari kantor diumumin bahwa raker yang diadain tanggal 18-19 Oktober 2014 kali ini perginya ke Belitung. Langsung deh otak jalan-jalannya gatel. Hahaha. Setelah ngobrol sama suami, akhirnya saya coba ajuin cuti tanggal 20-21 Oktober 2014 supaya bisa sekalian liburan sama suami ke Bangka. Suami sendiri waktu itu memang pernah sempet beberapa bulan tinggal di Bangka karena urusan kerjaan, sementara saya sendiri juga sempat ke Bangka hanya saja waktu itu cuma sebentar jadi belum sempat menjelajah. Masih penasaran ceritanya. Hehehe.

Setelah dapat approval cuti dari om bos (HORE!), langsung deh saya cari tiket buat saya pulang plus tiket PP buat suami. Eh, ndilalah lagi.. Ternyata tiket pulang saya bisa di-reimburse ke kantor karena emang udah dapet jatah dari kantor (HORE lagi!!). Alhamdulillah rejeki anak solehah.. Alhasil kami cuma keluar uang untuk tiket PP suami saya sekitar 900 ribuan dengan menggunakan maskapai Sriwijaya Air.

Di Belitung kami mendapat fasilitas dari kantor untuk menginap di Lor In, Tanjung Pandan. Daerah ini sekitar 30 menit perjalanan dari Airport H.A.S Hanandjoedin. Dalam perjalanan menuju hotel saya melihat tambang timah, baik yang sudah tidak beroperasi maupun yang masih aktif berada di kiri kanan saya. 


Masih sempat narsis di Pantai depan hotel, padahal jadwal raker padat merayap waktu itu. Hihihi

Dikarenakan agenda di Belitung adalah Rapat Kerja, saya dan rekan kerja memang nggak terlalu bebas jalan-jalan. Jadwalnya padat merayap kaya jalanan Jakarta. Hanya saja di hari kedua ada kegiatan Island Trip ke Pulau Lengkuas. 
Di kapal menuju ke Lengkuas, kami melewati beberapa pulau, salah satunya Pulau Burung dimana disana ada batu besar yang bentuknya menyerupai paruh burung Garude (Garuda) dan uniknya paruh burung tersebut mengarah ke arah kiblat (barat). Kami juga melewati pulau yang menurut pemandu kapal kami, pulau tersebut milik seorang Tionghoa yang punya peternakan babi sehingga dinamakan Pulau Babi. 


Batu Garude yang famous itu. Memang mirip paruh burung ya?

Sebenarnya ada juga Pulau Pasir, yaitu Pulau yang terdiri atas hamparan pasir yang luas sekali di tengah laut, namun saat itu kondisi sedang pasang sehingga Pulau Pasirnya tidak nampak. Perjalanan ke Pulau Lengkuas makan waktu sekitar 30-45 menit tergantung kondisi ombak. 

Sesampainya di Pulau Lengkuas yang menarik perhatian saya adalah mercusuarnya. Saya dan teman kantor saya, Rika, Mahta dan Rangga memutuskan untuk naik ke atas mercusuar terlebih dulu sebelum snorkeling. Untuk naik ke mercusuar tersebut, kita harus membayar Rp 5.000,- dan melepas alas kaki. Setelah menaiki 18 lantai atau sekitar 300 anak tangga yang cukup curam, sampailah kami di puncak mercusuar yang pemandangannya (dan anginnya) yang luar biasa. Saya nggak berani berlama-lama di luar karena anginnya dahsyat banget. Rasanya takut ketiup secara badan saya imut gini. Hahaha. Belum puas foto-foto di mercusuar, saat saya melihat ke bawah kelihatan sekumpulan teman kantor saya sedang berjalan ke kapal untuk snorkeling, maka dengan terburu-buru saya dan Rika menuruni anak tangga untuk menyusul mereka. Namun sayangnya saat kami sampai di bawah, kapal kami sudah berangkat. Saya sih tidak terlalu kecewa karena saya lagi nggak kepengen banget snorkeling. Yang sedikit kecewa sepertinya Rika, maka untuk mengobati kekecewaannya kami sempat mengelilingi pulau untuk menonton sebagian rekan kami yang sedang memancing di laut. Tak lupa kamimelanjutkan kegiatan foto-foto di bebatuan super besar yang menjadi khas Pantai di Bangka Belitung. Konon katanya, batu-batu tersebut dulu asalnya dari letusan Gunung Krakatau. Humm.. Jadi ngebayangin betapa seremnya kejadian waktu itu.


Mercusuar Pantai Lengkuas

Puas foto-foto, kami memutuskan kembali ke mercusuar karena di dekat situ ada warung kecil yang menjual minuman dan makanan. Karena lapar, kami sempat pesan mie instan sambil ngobrol sama mas penjaganya. Dari mas itu kami tahu bahwa Pulau Lengkuas ini merupakan salah satu tempat penangkaran penyu. Kami sempat melihat ke tempat penetasan telur penyu dan kolam berisi puluhan penyu yang baru berusia 5 hari. 

Selain Pulau Lengkuas, kami juga sempat ke Pantai Tanjung Tinggi tempat syuting Laskar Pelangi. Sayangnya walaupun pemandangan di sana indah, namun pantai ini sudah agak kotor dengan sampah-sampah pengunjung. Tapi itu tak mengurangi niat kami untuk mengabadikan momen lewat foto-foto tentunya. 


Tanjung Tinggi, Belitong

Sejenak berandai-andai jadi Laskar Pelangi

Hari Senin, 20 Oktober 2014 saya dan suami sudah standby sejak jam 6 pagi di Pelabuhan Tanjung Pandan untuk menyeberang ke Bangka. Jadwal jetfoil KM Express Bahari dari Belitung ke Bangka hanya sekali dalam sehari yaitu pukul 07.00 WIB, kecuali hari Selasa dimana pada hari tersebut tidak ada jadwal penyeberangan. Jadi mau tidak mau, pada Hari Senin tersebut kami harus lakukan penyeberangan, kalau tidak mau membeli tiket pesawat ke Bangka yang harganya kurang lebih sama dengan tiket ke Jakarta. 

Ada cerita lucu saat di pelabuhan. Kebetulan HP suami saya mati total saat itu, padahal nomor HP rental mobil tersimpan disana. Untungnya suami dan Mas Eka dari rental mobil sudah janjian sehari sebelumnya untuk bertemu di pelabuhan. Sampai dengan pukul 06.30 WIB Mas Eka masih tidak nampak batang hidungnya di pelabuhan, kami mulai deg-degan sebab harus kemana kami menitipkan kunci dan STNK kalau si empu-nya mobil nggak juga muncul?
Kebetulan saat sedang menunggu, suami saya melihat ada satu keluarga yang diantar oleh guide lokal dengan menggunakan mobil rental. Seusai keluarga tersebut turun, suami saya dengan modal nekat mengetuk kaca mobil dan menceritakan bahwa HP-nya mati total sehingga tidak dapat menghubungi orang yang menyewakan mobil rental kepada kami, pemilik mobil ditunggu-tunggu juga tidak terlihat di pelabuhan. Untungnya, setelah menunjukkan STNK mobil, guide lokal tersebut ternyata kenal dengan pemilik mobil dan berbaik hati membantu menghubungi rental kami. Tidak sampai 15 menit kemudian, Mas Eka rental mobil kami datang dengan diantar motor. Dengan lega di detik-detik terakhir kami menyerahkan mobil ke Mas Eka.

Lain lagi cerita saat antri tiket di Pelabuhan. Sementara suami saya mencari Mas Eka, tugas saya adalah antri untuk beli tiket. 
Namun sialnya hari itu petugas loketnya telat. Jadwal kapal berangkat pukul 07.00 WIB, namun sampai pukul 06.30 WIB lewat loket masih juga kosong padahal dari pengeras suara pihak pelabuhan sudah menginfokan agar para penumpang segera ke atas kapal bagi yang sudah memiliki tiket. Humph. Makin spaneng deh rasanya nunggu loket buka.
Antrian sudah panjang ke belakang tapi saya cukup tenang karena kami sudah datang dari pagi dan dapat antrian nomor tiga dari depan. Kurang 15 menit dari jadwal keberangkatan, petugas loket baru datang dengan tergopoh-gopoh. Tepat saat loket dibuka, tiba-tiba antrian yang tadinya (lumayan) rapih jadi seketika berantakan. Semua orang yang antri di belakang serentak langsung menyerbu ke depan. Banyak dari yang antri sepertinya calo tiket, karena mereka beli tiket dalam jumlah yang langsung banyak. Saya yang tadinya berencana beli tiket kelas Bisnis, urung beli karena tiba-tiba diberitahu kalau tiket Bisnis sudah habis! Nah lho.. Kok bisa? Padahal saya kan antrinya termasuk bagian paling depan?? Dengan rasa mangkel akibat desak-desakan akhirnya kami (terpaksa) beli tiket kelas VIP dengan harga satu tiket Rp 285.000,-, padahal di papan tertera 3 kategori harga tiket: Bisnis Rp 190.000,-; Executive Rp 195.000,- dan VIP 230.000,- .

Benar-benar pengalaman buruk banget deh di Pelabuhan tersebut. Sudah masyarakatnya nggak bisa antri dengan baik, petugas juga tidak ada kesadaran untuk merapihkan antrian, belum lagi petugas loketnya datang telat dan super lelet sehingga menyebabkan jadwal keberangkatan juga mundur, belum lagi harga tiket yang tidak sesuai dengan yang ada di papan. Hummm.. Ya sudahlah, dijadikan pelajaran aja. Lain kali kalau mau nyeberang dari Belitung-Bangka, lebih baik pesan tiket sebelumnya atau sekalian aja naik pesawat.

Perjalanan dari Belitung-Bangka lewat laut makan waktu sekitar 4 jam. Sesampainya di Pelabuhan Pangkal Balam, Bangka kami segera naik angkot ke pasar untuk cari makan terlebih dulu. Angkot yang kami tumpangi minta tarif Rp 10.000,- per orang. 
Menu pertama yang kami coba siang itu tentunya Mie Bangka yang terkenal itu. Yang menarik perhatian saya hampir setiap makanan di Bangka menggunakan jeruk kunci, jeruk khas Bangka yang rasanya sedikit lebih manis dari jeruk nipis. Setelah kenyang dengan besarnya porsi Mie Bangka yang kami makan kami segera melanjutkan naik angkot kembali untuk mencari hotel. Kali ini angkotnya mengenakan tarif normal yaitu Rp 2.500,-/orang. 
Kami memutuskan untuk bermalam di Damai Inn, di kawasan Pangkal Pinang dengan tarif hotel Rp 220.000,-/malam (sudah termasuk pajak). 
Hotelnya sendiri sederhana, namun cukup bersih. Cukuplah bagi kami untuk beristirahat dan menaruh barang-barang, mengingat kami pasti menghabiskan hampir seluruh waktu kami di luar untuk jalan-jalan sayang rasanya kalau mengeluarkan uang lebih untuk hotel mahal.

Usai bersih-bersih sejenak dan suami mencari rental mobil di lobby hotel, kami segera bersiap keluar untuk jalan-jalan. Rental di Bangka yang kami dapat ini harganya sama dengan di Belitung yaitu Rp 250.000,-/hari. Perjalanan pertama kami ke Pantai Pasir Padi yang konon katanya unik karena kontur pantainya yang landai dan tekstur pasirnya keras sehingga kita bisa jalan sampai ke tengah laut karena airnya juga tidak terlalu dalam. Dalam perjalanan menuju pantai, sayangnya ban mobil kami sempat robek karena tertancap paku besar, jadi perjalanan sedikit terhambat untuk ganti ban dengan ban serep. Sesampai di Pantai Pasir Padi, kami segera parkir mobil di pinggir pantai dan jalan hingga hampir ke tengah laut yang ada beton-beton pemecah ombaknya. Kami duduk-duduk disana dan menikmati sunset yang arahnya berseberangan dengan pantai. Hingga matahari tenggelam kami segera bergegas kembali ke Pangkal Pinang untuk mencari makan malam.


Foto ini diambil di tengah laut lho.. Pantainya landai jadi mudah bagi kami untuk berjalan ke tengah-tengah laut

Malam itu atas anjuran suami saya makan tekwan, yang menurut saya rasanya mantab. Asinnya pas, kuah bening dengan rasa sup ikan yang kerasa banget apalagi ditambah perasan jeruk kunci, irisan jamur dan bengkoang. Segar banget! Suami sendiri memilih untuk makan pempek kapal selam yang menurut saya rasanya lebih manis dari pempek pada umumnya, tapi setelah agak lama rasa pedasnya baru terasa menggigit. 


Tekwan yang super seger dengan perasan Jeruk Kunci


Wisata kuliner malam itu nggak berhenti sampai di situ saja, kami langsung lanjut ke Alun-Alun Kota yang disingkat ATM oleh masyarakat setempat. Bahkan pada malam yang bukan akhir pekan, tempat ini ramai dikunjungi masyarakat yang membawa anggota keluarganya. Yang remaja bisa makan-makan di sekitar alun-alun, yang anak-anak bisa main di berbagai macam jenis permainan yang ada di sana, salah satunya semacam mobil-mobilan mini yang bisa dikendalikan remote control oleh orang tua mereka. Di sana kami juga sempat mencoba jajanan berupa gorengan yang pada dasarnya berasal dari ikan namun diolah menjadi berbagai macam jenis. Delapan potong gorengan ditambah dengan segelas susu kedelai, kami cukup mengeluarkan uang Rp 12.000,- saja. Harusnya malam itu wisata kuliner kami ditutup dengan makan buah duren, namun sayangnya karena bukan musimnya, kami tidak dapat menemukan satupun pedagang durian yang biasanya ada di sepanjang jalan.

Jadwal hari terakhir kami di Babel adalah Beaches Marathon sebelum jadwal pulang kami ke Jakarta pukul 17.10 WIB sorenya. Namun sebelumnya kami berencana sarapan dulu ke warung kopi yang terkenal di Bangka yaitu Warung Kopi Tung Tau. Entah Google Maps dan Waze-nya lagi kacau, bukannya ketemu si warkop kami malah sempat kesasar sampai ke kuburan cina. Sempat hampir menyerah, akhirnya warkop ini secara tidak sengaja ketemu dalam perjalan kami ke Pantai Parang Tenggiri. Warkop Tung Tau ini terletak di perempatan pasar di Jl. Muhidin. Sudah berdiri sejak tahun 1938 dengan resep yang diwariskan turun temurun dan dikelola sendiri oleh generasi penerusnya. Semua kedongkolan karena sempat kesasar tadi terbayarkan saat makan roti panggang telur dan mencicipi kopi susu serta teh susunya. Semuanya enak. Roti panggangnya crunchy di luar tapi lembut banget di dalam. Buat seseorang yang nggak bisa minum kopi seperti saya aja, sepertinya saya jatuh cinta sama rasa kopinya. Sebagai bekal di perjalanan, akhirnya kami memutuskan untuk take away roti panggang isi srikaya. Oya, so far menurut saya jajanan dan makanan di Bangka ini harganya bersahabat dengan dompet merah saya. Menyenangkan deh pokoknya. Hehehe.


Wajib mampir ke Tung Tau kalau lagi di Bangka

Sarapan sudah, saatnya ke Pantai Parang Tenggiri. Pantai ini sebenarnya bukan pantai umum, jika masuk ke pantai, kita harus membayar Rp 25.000,-/orang, karena wilayah pantai ini memang masuk ke dalam wilayah Parang Tenggiri Beach, Resort & Spa. Kami sempat menemukan hotspot di Parang Tenggiri berupa pantai kecil di balik bebatuan dekat restoran hotel yang tempatnya menjorok ke tengah laut. 

Hotspot di Pantai Parang Tenggiri, pantai mini dibalik bebatuan

Pantai Parang Tenggiri yang bersih

Tujuan kedua adalah Pantai Matras yang letaknya bersebelahan dengan Pantai Parang Tenggiri. Saat kami kesana sepertinya sedang ada restorasi di Pantai Matras, sehingga akhirnya kami terus menyusuri jalan mencari pantai yang lebih nyaman tanpa ada kehadiran excavator-excavator di pinggir pantai. Sedikit off road dan sempat berhenti di area bekas tambang timah, akhirnya kami menemukan spot di daerah Matras yang indahnya luar biasa. Pantainya nihil orang, dengan bebatuan besar dan uniknya di pinggir pantai juga ada rawa yang banyak ikan dan udangnya. Kami agak lama menjelajah di pantai tersebut. Loncat dari satu batu ke batu yang lain dan sedikit bermain air di bibir pantai.



Berasa pantai pribadi

Rawa di seberang dalam pantai. Kami menemukan banyak udang dan ikan di sini

Indahnya Pantai Matras dengan bebatuan besar khas pantai di Babel

Jernih ya airnya?

Bersanntai di salah satu batu besar Pantai Matras

Tujuan selanjutnya adalah Teluk Kenangan.. Eh, Teluk Uber maksudnya.. Hehehe. Di Pantai Uber ini sedikit berbeda dengan pantai-pantai di Bangka lainnya karena warna pasirnya yang sedikit kehitaman. Kami sempat berenang di sana, bahkan sempat nemuin ubur-ubur yang setiap mau difoto pasti kabur.


Berenang sebelum pulang

Nggak terasa jam sudah menunjukan hampir pukul 13.30 WIB, kami segera bergegas ke hotel untuk check out dan menyempatkan diri ke Museum Timah Indonesia yang dikelola oleh PT Timah, Tbk. Di museum yang tadinya merupakan tempat bersejarah yaitu tempat diselenggarakan dan ditandatanganinya Perjanjian Roem Royen ini kita bisa belajar banyak tentang sejarah timah di Indonesia, bahkan saya dengar Museum ini adalah satu-satunya museum Timah di Asia Tenggara. Sayang kami tak bisa berlama-lama di sana karena harus mengejar pesawat ke Bandara Depati Amir.


Mangkuk keruk timah yang ukurannya bisa nampung saya dan suami sekaligus sepertinya. Hihihi

Sempat delay karena cuaca saat itu super mendung, akhirnya pukul 18.30 kami take off juga ke Jakarta. Begitu banyak cerita yang bisa saya bagi dalam waktu yang singkat. Jika ada kesempatan, saya dan suami ingin sekali kembali ke sana, karena masih banyak sekali tempat yang ingin kami kunjungi. Pantai-pantai, Bangka Botanical Garden, Kampung Pecinan di Belinyu, daerah bersejarah Muntok, dan lain-lain. Yang pasti kota Bangka selalu punya tempat tersendiri di hati kami, karena kota ini adalah awal pertemuan kembali saya dan suami..

Happy Anniversary, my dearest one.
I love you above and beyond. 


Friday, October 10, 2014

Random Weekend Getaway to Puncak

Suatu malam ngobrol dengan suami. Ingin sekali-sekali kumpul dengan keluarga suami.. Gantian lah ceritanya, berhubung selama ini memang lebih sering berkumpul dengan keluarga saya. Setelah diskusi, akhirnya diputuskanlah untuk pergi ke Puncak, menyewa satu villa terus malamnya bbq-an rame-rame. 

Mulailah saya sibuk browsing cari villa yang kira-kira cukup untuk 3-4 keluarga kecil yang sesuai dengan budget di Agoda.com. Kebetulan saya dulu memang cukup sering cari hotel di sini baik untuk urusan kantor maupun untuk urusan pribadi. Setelah cari sana-sini, akhirnya saya putuskan untuk coba booking 1 villa di Cluster Osaka, Kota Bunga Puncak.
Pertimbangannya selain karena sesuai dengan budget, jumlah kamarnya cukup banyak. Ada 5 kamar tidur dengan 3 kamar mandi. Dua kamar mandi di luar dan satu kamar mandi di master bedroom. Fasilitas lainnya selain ruang keluarga juga ada dapur yang menurut testimoni pengunjung sebelumnya sudah lengkap dengan peralatan masaknya. Untuk villa dengan fasilitas yang cukup memadai tersebut, saya hanya perlu merogoh kocek kurang dari Rp 700 ribu. Nominal yang murah jika dibandingkan dengan harga villa dengan fasilitas serupa di daerah Lembang yang harganya pasti sudah di atas Rp 1 juta.

Villa sudah di-booked. Tinggal menunggu hari H saja. Namun sayangnya mendekati hari H dari keluarga suami banyak yang berhalangan, padahal sehari sebelumnya saya sudah sempat belanja 'murah-meriah' untuk bbq-an di Giant (bukan promosi. Tapi untuk bbq-an dengan menu yang sederhana, ga yang mewah-mewah amat, belanja di sini emang terhitung murah. Hehehe). Akhirnya di Hari H kami 'putar haluan' deh dengan mengajak saudara-saudara dari pihak saya. Jadilah mama, 2 kakak saya, 4 keponakan serta adik dan calon istrinya konvoi berangkat ke puncak.

Kami jalan dari Cinere sekitar dzuhur, siang itu panasnya menyengat sekali. Kami sempat berhenti di rest area KM 58. Adik dan keponakan saya menyempatkan mampir ke Starbucks, sementara saya yang bukan pecinta kopi cukup membekali diri dengan sebotol air mineral saja. Hehehe. Selesai jajan, kami melanjutkan perjalanan menyusul mobil kakak saya yang sudah lebih dulu berangkat.

Mendekati Ciawi saya di-Watsapp kakak yang memberitahukan kalau jalan naik ke Puncak sedang ditutup dan baru dibuka kembali jam 6 sore nanti. Mendengar hal tersebut kami berinisiatif lewat jalan alternatif. Di sekitar pintu tol Ciawi cukup padat dengan pedagang dan orang-orang yang menawarkan jasanya untuk mengantar mobil-mobil yang tidak ingin menunggu sistem buka-tutup ini melewati jalur alternatif. Kami sendiri memutuskan untuk tidak menggunakan jasa penunjuk jalan ini. Selain karena suami saya memang cukup hapal dengan jalan alternatif di Puncak, sekarang ini kan juga ada aplikasi Waze jadi ga perlu takut kesasar. 
Lewat jalan alternatif ini menurut saya bagi pengguna mobil matic dan mobil sedan tidak disarankan, karena rutenya cukup berliku dan tanjakannya juga tajam dengan kondisi jalan yang tidak terlalu baik. 

Nampaknya saat itu kami sedang kurang beruntung. Setelah 'berjuang' melewati lika-liku tajam kehidupan.. Eh, lika liku jalanan. Hanya beberapa meter dari jalan utama, mobil kami dihentikan karena sistem buka tutup ke arah bawah puncak masih berlaku. Akhirnya kami tetap harus menunggu sampai dengan pukul 18.00 lewat baru dapat melanjutkan perjalanan kami menuju ke Kota Bunga.

Hampir pukul 19.00 kami sampai di Kota Bunga. Sempat agak kesulitan mencari kantor marketingnya karena tidak ada petunjuk yang cukup jelas dan letak kantornya pun cukup jauh ke dalam. Sesampai di kantor marketing, saya cukup menyebutkan nama dan email booking kepada petugas, kemudian petugas segera meminta saya mengikuti salah satu staff yang akan menunjukan letak villa yang kami tempati.

Villa tersebut terletak di cluster Osaka sehingga desainnya berbau Jepang, unik dengan aksen pintu depan geser. Letak villanya di pinggir jalan Hoek, sehingga menyisakan lahan untuk taman yang dilangkapi gazebo dan sebuah ayunan. Di bagian depan villa ada kolam kecil yang pada akhirnya jadi tempat favorit dua keponakan saya, Dewa dan Noah karena di situ mereka bisa bermain air dan menangkap kecebong.




Ini tampak depan villa kami
Setelah bersih-bersih dan meluruskan kaki yang cukup pegal sesuai perjalanan tadi, kami segera bersiap-siap untuk bbq. Kami sempat keluar sebentar untuk beli beras, arang untuk bakar-bakar dan beberapa keperluan lain di mini market yang letaknya satu area dengan kantor marketing tadi. Sayangnya sampai di villa, ibu saya memberitahu kalau ia tidak dapat menemukan wadah untuk nasi di dalam rice cooker yang sudah tersedia di villa, sehingga tetap saja kami tidak bisa menanak nasi. Kali ini adik saya yang menawarkan diri keluar untuk membeli nasi sementara kami menyiapkan bumbu bbq dan mulai menyalakan 'panggangan darurat' yang bahan-bahannya kami temukan di villa. 

Malam itu kami habiskan dengan bbq-an di luar rumah. Tentu saja, yang paling banyak porsi makannya ya saya dan suami. Hahaha. Seusai makan, saya yang agak teler memilih tiduran di sofa ruang tengah sambil menemani suami yang main Monopoly On The Go bareng adik, calon istri adik saya, dan keponakan.
Nggak games di Tab, nggak  di dunia nyata kayaknya semua lagi pada keranjingan main monopoli lagi ya. Hihihi. Sampai jam 2 dini hari baru saya dibangunkan suami untuk pindah masuk ke kamar *tutup tirai* *eh*

Yang perlu dicatat jika menginap di Kota Bunga, sebisa mungkin jangan ambil villa di pinggir jalan raya karena cenderung berisik dengan orang-orang yang kebanyakan berdarah Arab (Oops.. Bukannya rasis, tapi memang banyak banget keturunan Arab di sana) yang mondar-mandir dengan mobil yang dibuka kacanya sehingga suara musik terdengar keras dari dalam kendaraan mereka, atau suara knalpot mereka yang kebut-kebutan bahkan di malam hari. Untuk itu sebaiknya kasih pengertian juga untuk anak-anak kecil agar tidak sendirian bermain di jalan raya tanpa ditemani orang dewasa.

Saya terbangun pukul 06.30 dan langsung mendapati bahwa tadi pagi mobil kami sudah dicuci bersih oleh beberapa anak muda tanpa diminta. Sempat kuatir kalau-kalau ongkos yang mereka minta mahal untuk 1 mobil, ternyata setelah ditanya mereka hanya minta ongkos 15 ribu per mobilnya. Saat saya, kakak dan Shayna keponakan saya menyempatkan diri untuk jalan-jalan di sekitar villa ada beberapa kusir dengan kudanya yang menawarkan jasa menunggang kuda keliling kompleks. Untuk satu putaran dikenakan biaya 25 ribu per kuda. 


Pagi-pagi belum sarapan udah keliling naik kuda

Di Kota Bunga ini juga banyak pedagang yang menjajakan makanan. Mulai dari nasi uduk, pedagang pisang, gemblong, sampai SPG minuman fermentasi juga ada. Mereka akan mampir ke depan villa menawarkan dagangannya silih berganti. Namun jangan kuatir, mereka bukan tipe pedagang yang memaksa agar kita membeli dagangannya, jadi tolak saja dengan halus jika anda tidak berminat.

Seusai sarapan dan mandi pagi, kami segera beberes untuk bersiap-siap pulang. Ada rencana sebelum pulang untuk mampir ke Kebun Raya Cibodas. Saya sudah puluhan tahun tidak ke Cibodas. Terakhir itu SD kalau nggak salah ingat. Dulu keluarga saya kalau libur atau sedang ada keluarga dari Solo yang datang berkunjung, biasanya akan kami ajak ke Puncak, masuk Taman Safari dan wisata ke Cibodas agar anak-anak dapat bebas berlarian sampai terjatuh guling-gulingan di areal Cibodas yang memang konturnya berbukit-bukit. Itu saja rasanya bukan main senangnya ngalahin jalan-jalan ke Mall :p

Kebun Raya Cibodas merupakan gerbang awal bagi pendaki yang ingin naik ke Gunung Gede. Di sana banyak pohon-pohon yang usianya sudah ratusan tahun, air terjun Cismun, berbagai tanaman bonsai, anggrek langka sampai dengan bunga bangkai dapat ditemukan disini. Tiket masuk ke Cibodas untuk mobil dikenakan 16 ribu sementara per orangnya Rp 9.500,-. Ternyata disana nggak banyak berubah. Anak- anak senang sekali bermain di lapangan terbuka di bawah pohon-pohon rindang dengan udara yang cukup sejuk dibandingkan saat di Kota Bunga. Sambil mengamati anak-anak yang sedang bermain, kami memutuskan menyewa plastik untuk alas kami duduk-duduk di bawah pohon sambil menikmati bekal makan nasi goreng telor ceplok home made suami saya. Hehehe. Betul juga keputusan untuk membawa bekal makan dari rumah karena dagangan yang dijajakan di sini harganya relatif sudah dinaikkan, misalnya saja sebotol air mineral ukuran sedang dihargai 10 ribu rupiah.


Kapan terakhir kali anda piknik di taman terbuka?

Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB saat kami memutuskan untuk turun dan pulang ke Jakarta. Saya dan suami beserta adik dan pacarnya memutuskan untuk duluan turun sementara rombongan di mobil kakak saya ingin belanja sayur mayur dulu di areal parkiran luar kebun raya yang memang dipenuhi pedagang sayuran, buah dan souvenir.

Alhamdulillah perjalanan turun dari Puncak kami relatif lebih lancar dibanding saat naik, karena bertepatan dengan arus turun ke arah Jakarta. Kami sempat minum sekoteng dan makan jagung bakar di Masjid Atta'awun, turun sedikit kami melanjutkan wisata kuliner kami dengan menyantap poffertjes dan segelas susu coklat sambil menikmati pemandangan orang-orang yang sedang parasailing dari atas bukit. Suatu saat saya ingin coba ah..



Santapan wajib kalau ke Puncak 

Meskipun puncak saat ini tidak sesejuk dulu dan sudah cukup banyak yang berubah karena sekarang terasa lebih ramai, terutama oleh pendatang keturunan dan hampir semua toko, agen tour travel serta restoran sudah menggunakan plang dengan tulisan arab gundul dan kalau tidak dibantu dengan gambar visual dari apa yang ditawarkan agak menyulitkan pembeli namun perjalanan ini cukup menyenangkan. Terutama karena kami sekeluarga sudah cukup lama tidak berkumpul liburan sama-sama. Jadi memotivasi saya untuk merancang liburan keluarga lagi nih! ^^