Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Friday, December 5, 2014

Cerpen: Indigo Girl

Ada yang bilang aku punya indra keenam. Sebagian lagi menyebutku indigo...

Namaku Dru, 16 tahun. Jika dilihat dari penampilan, aku tak ada bedanya dengan remaja sebayaku. Seneng dengerin Radio Prambors, susah bangun pagi, hobi jalan-jalan sama teman dekatku saat weekend, pokoknya nggak seperti gambaran sutradara film yang mengangkat cerita anak indigo lah.

Aku bahkan tak yakin apakah memang benar aku punya bakat supranatural seperti kata beberapa "orang tua" yang sering datang ke rumahku. O ya, ayahku memang sedikit nyentrik. Ia suka hal yang berbau klenik. Sebagai pemilik perusahaan percetakan yang cukup besar di Bandung, ia seringkali konsultasi dengan penasihat spiritualnya sebelum mengambil keputusan bisnis. 

Ayah punya penasihat spiritual lebih dari satu. Mereka datang silih berganti ke rumahku. Ada yang penampilannya religius dengan memakai sorban dan berpakaian panjang warna putih, ada yang penampilannya menurutku lebih mirip seperti tukang pukul karena badannya yang tinggi besar, berkulit hitam dengan kumis dan jenggot yang menutupi sepertiga bagian wajahnya, lalu ada juga wanita paruh baya yang dandanannya super menor dan jika datang ke rumah selalu menawarkan barang yang katanya berkhasiat untuk kesuksesan, wibawa, tolak bala, dan lain-lain. 

Satu persamaan dari penasihat spiritual ayahku itu ialah pendapat mereka tentangku. Katanya aku adalah anak yang 'berbeda', punya 'kemampuan' dan semacamnya. Biasanya mereka mengatakan itu sambil mengernyitkan dahi, menaikkan satu alis, melihatku dari atas ke bawah, beberapa mencoba berbagi tenaga dalam denganku yang aku sendiri tidak mengerti maksudnya apa, ada juga yang menuliskan tulisan arab gundul dan memintaku untuk menyimpannya di dompet, "Auramu agak berbeda, Dru." Begitu katanya. Ia juga memintaku untuk tidak meninggalkan solat serta melafalkan beberapa doa tertentu seusai solat. "Kau bisa jadi orang yang kuat luar biasa, namun jika kekuatanmu tidak diimbangi dengan iman, kekuatanmu bisa kau gunakan untuk sesuatu yang salah." Aku pun keluar dari kamar ayah dengan rasa Clueless dan masa bodoh atas apa yang kudengar barusan. Paling hanya ingin cari muka ke ayah seperti yang lainnya, pikirku.

Tidak. Aku tak bisa baca pikiran. Aku juga tak bisa lihat makhluk gaib seperti Nita, teman sekelasku. Amit-amit deh. Tidur sendiri saja aku masih sering ketakutan. 
Walaupun terkadang, aku bisa merasakan kehadiran mereka di tempat-tempat tertentu. Ada yang hawanya dingin membuat bulu tengkuk berdiri, ada juga yang berhawa panas membuatmu ingin segera pergi dari tempatmu berdiri. Apakah itu bisa dibilang aku termasuk anak indigo? Aku rasa tidak.
Meskipun tak bisa kupungkiri memang ada beberapa kejadian aneh yang membuatku berpikir aku sedikit berbeda dari orang kebanyakan. Seringkali apa yang ada di dalam pikiran dan yang kuucapkan benar-benar menjadi kenyataan. Buruknya ini hampir selalu berdampak ke orang yang berseberangan pendapat denganku dan membuat hatiku kecewa. Kebanyakan dari mereka mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Padahal sekesal-kesalnya aku dengan orang lain, pada dasarnya aku bukanlah pendendam. Hari ini aku bisa merasa kesal dengan seseorang, keesokannya paling aku sudah lupa. Namun entah mengapa apa yang ada di pikiranku saat aku merasa kesal, akhirnya benar-benar menimpa orang tersebut.
Contohnya, pernah aku merasa kesal dengan seseorang yang bersikap menghakimi saat Bimo, pacarku tak sengaja menyerempet pengendara motor yang memotong mobil kami dari sisi kiri. Saat berdebat dengan bapak yang ternyata cukup dituakan penduduk kampung sekitar, sempat terucap dari mulut saya, "Pak! Kami ini mau bertanggung jawab lho! Jangan menarik-narik kerah pacar saya seolah kami mau kabur! Ayo bicara baik-baik. Coba kalau bapak ada di posisi kami. Lihat saja nanti." 3 hari berselang, aku mendengar kabar bahwa bapak tersebut mengalami kecelakaan motor dimana ia dalam posisi yang menabrak namun yang menderita luka cukup parah adalah dirinya sendiri. Ada pendarahan di otaknya yang menyebabkan tubuhnya lumpuh di bagian bawah. Motor yang ditabraknya, melihat kondisi bapak itu cukup parah langsung melarikan diri. Aku sempat shock mendengar kabar tersebut. Sungguh bukan maksudku untuk mendoakannya celaka.

Dan ini bukan kali pertama. Waktu itu pernah sehabis bertengkar dengan tanteku yang datang dari luar kota dimana sebetulnya hubungan kami amat dekat, dengan emosi aku membatin agar semoga ia cepat-cepat pulang ke kotanya. Aku tak ingin melihatnya lagi di rumahku. Sayangnya permintaanku benar-benar didengar Yang Maha Kuasa. Malamnya tanteku mengalami gagal jantung, sempat akan dibawa ke UGD, namun di tengah perjalanan nyawanya sudah tak tertolong lagi. Setelah kejadian itu aku sempat mengurung diri di kamar selama hampir sebulan karena merasa amat bersalah. 

Lalu ada satu kejadian yang sampai saat ini masih kusimpan rapat-rapat. Aku takut jika sampai ayah atau ibu tiriku tahu akan hal ini, mereka akan membenciku. Sewaktu aku mendengar bahwa ibu tiriku mengandung anak ayah, sebagai anak tunggal ada perasaan iri tumbuh di hatiku. Saat memandang perut ibu tiriku, aku berdoa agar jabang bayi yang ada di dalamnya tidak berkembang, aku tidak ingin nanti saat adikku lahir, perhatian ayahku akan terbagi dengannya. Suatu saat di usia kehamilannya yang ketujuh, saat aku sedang bersimpuh di dekat ibu tiriku, kuelus perutnya sambil membayangkan seandainya adikku ini gugur, lahir lebih cepat dan tidak selamat. Sungguh bahagianya hatiku. Ayahku tentu akan mencurahkan seluruh perhatiannya kepadaku. Hanya kepadaku. Malamnya aku terbangun karena ayah masuk ke kamarku dengan tergesa-gesa, nada suaranya cepat dan sedikit khawatir, "Dru, ibu mengalami pendarahan. Ia terjatuh di kamar mandi. Kamu tunggu di rumah saja ya sama Bik Iyem. Nanti Ayah kabari bagaimana kondisi ibu dan adikmu. Doakan tidak ada apa-apa ya, nak."
Dini hari melalui telepon ayah memberitahu bahwa ibu baik-baik saja, begitu pula dengan adikku lahir dengan selamat namun ada kondisi yang belum diketahui akibat kelahirannya yang prematur sehingga perlu terus dipantau dokter. Ada rasa terharu saat keesokannya aku diizinkan melihat adik kecilku di inkubator. Ia begitu mungil dan tidak berdosa. Air mataku mengalir di pipi saat mendengar vonis dokter bahwa adikku ternyata menderita down syndrome. Ayahku memegang erat pundakku, "Jangan bersedih, Dru. Nanti kita yang akan bersama-sama merawat adik ya. Melatihnya menjadi pribadi yang manis dan mandiri seperti dirimu." Air mataku pun langsung jatuh dengan lebih derasnya.


Thursday, November 20, 2014

Cerpen: Rindu KemARAu Akan Datangnya Hujan

"Seperti apakah hujan itu?"

Ara menengadahkan kepalanya ke atas dan melihat ke langit yang cerah dimalam itu.
Seumur hidupnya, Ara belum pernah merasakan yang namanya hujan.
Belum pernah menikmati sensasi lembutnya air yang menyapu kulit saat tetes hujan mengalir turun ke bawah.
Belum pernah mendengar alunan musik indah yang timbul dari rintik hujan yang jatuh menyentuh tanah.
Belum pernah menikmati indahnya lukisan alam yang terbuat dari titik embun di atas dedaunan hijau.
Belum pernah merasakan damainya jiwa saat tubuh meringkuk di balik selimut atau nikmatnya secangkir hangat susu coklat saat hujan tiba.
Belum pernah menghirup segarnya udara seusai hujan reda.

Radit, suami Ara yang datang dari negeri yang mengenal hujan seringkali menceritakan hal-hal tersebut kepadanya di malam hari sebelum mereka terlelap. Ara senang mendengarkan cerita Radit sambil menyandarkan kepala di bahu Radit. Sementara tangan mereka saling bergenggaman, Ara tak jarang membayangkan cerita Radit menjadi nyata. Membayangkan gradasi warna biru keabuan yang mungkin terjadi di atas langit sana. Membayangkan bagaimana komposisi awan yang berbaur menjadi satu membentuk gumpalan besar. Membayangkan hawa sejuk yang menerpa wajahnya. Membayangkan bagaimana ia berlari-lari kecil mencari tempat yang teduh saat air hujan mulai ditumpahkan ke bawah oleh Penciptanya.
Memang betul seperti kata Radit, Ara percaya bahwa hujan tak selalu seindah itu. Terkadang ada gelegar dan kilatan petir yang memekakkan telinga dan menyilaukan mata. Lalu ada pula air bah yang terkadang merenggut senyum insan manusia. Namun semua resiko itu rela ditempuh Ara yang memang belum dikaruniai anugerah untuk merasakan hujan.

Dalam setiap doanya menjelang tidur dan saat membuka mata di pagi hari, Ara selalu menyelipkan keinginannya untuk dapat merasakan hujan. Ia berkhayal bahwa satu doa yang dikirimkannya adalah satu tetes hujan yang nantinya akan jatuh ke bumi. Ia berharap semakin sering ia mengirimkan doanya ke atas langit, semakin besar pula kesempatan doanya didengarkan Gusti Allah. 

Seperti malam-malam sebelumnya, seusai Ara terlelap setelah mendengar dongeng mengenai hujan, Radit selalu mengecup dahi Ara dan berbisik di telinganya, "Sayangku Ara, jangan pernah berputus asa. Percayalah, di belahan dunia manapun bahkan musim kemARAu yang terpanjang pun pasti akan merasakan datangnya sapuan hujan. Jika saat itu datang ketahuilah aku akan selalu ada di sisimu. We'll dancing in the rain together.. Side by side.. You and I."

Sunday, November 9, 2014

Cerpen: Bayang Masa Lalu Sara

Butiran hujan menetes turun di balik kaca. Sara menyeruput pelan toffenut latte-nya sembari melirik sekilas ke jam tangannya. Ah, waktu... Andaikan manusia memiliki kuasa untuk mengatur cepat lambatnya waktu, memutar ulang ke belakang untuk memperbaiki runutan sejarah dalam hidup mereka, akankah semuanya menjadi lebih baik? Akankah mereka semua berakhir bahagia, ataukah yang terjadi malah sebaliknya? 

Layar telepon genggam Sara menyala dan menampakkan nomor yang dikenalnya. Jantungnya berhenti sejenak dan kemudian berdetak sedikit lebih cepat. Nomor yang beberapa bulan belakangan ini selalu ditunggu-tunggunya, namun tiap kali nomor itu muncul di layar telepon genggamnya, batinnya selalu berperang. Pertarungan hebat antara perasaan dan logikanya. Should I pick up.. or should I not?

Nomor itu adalah nomor seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang masih jelas dalam ingatan Sara pernah menatapnya dengan hangat dan menggenggam tangan mungilnya dengan erat. Seseorang yang juga telah meninggalkannya dalam gelap, sendiri dan membuatnya mempertanyakan pantaskah dirinya dicintai? Seseorang yang seharusnya cukup menjadi masa lalunya. Seseorang yang fotonya pantas ditaruh di dalam boks usang di atas lemari pakaiannya selama ini.

Pertarungan batinnya masih berlangsung seiring dengan nyala lampu di layar telepon genggamnya, seakan menunjukkan kekuatan hati sosok si penelepon yang tak ingin menyerah begitu saja. Sara menekan tombol silence. Hatinya masih tak sanggup untuk menekan tombol reject. "Mengapa logikaku tak pernah menang dalam hal ini?" protesnya dalam hati. God is strangely humorous in His own way, pikirnya. Di saat ia mengira dirinya sudah cukup kuat berdiri di atas kakinya, di saat ia merasa sudah dapat mengendalikan semua variabel dalam hidupnya, di saat ia merasa yakin hidupnya sudah seimbang di usianya yang ke-33 ini, seorang Associate Sales Director di salah satu hotel terkemuka di Jakarta, di situlah Tuhan memutuskan untuk menarik satu variabel ke tengah-tengah kehidupannya yang "sempurna". Variabel itu adalah Reno. Sang mantan. Reno yang saat ini sudah menikah dan sedang mengalami prahara dalam rumah tangganya. Reno yang bercerita ingin melayangkan gugatan cerai kepada istrinya karena merasa sudah tidak dapat lagi menyatukan perbedaan antara mereka berdua. Hilang sudah keseimbangan dalam hidup Sara. Terombang-ambinglah kekuatan hatinya. 

Harusnya Sara mampu mengabaikan Reno seperti ia mampu mengabaikan beberapa laki-laki yang pernah mengajaknya melangkah ke hubungan yang lebih serius. "Untuk apa? Aku sudah bahagia seperti ini. Hidup sendiri. Mandiri. Membuka hati untuk seseorang artinya membuka peluang untuk disakiti lagi. Terpuruk lagi." Namun mengapa hal ini tidak berlaku untuk Reno? Sedalam itukah rasanya kepada Reno? Sara tersenyum kecil saat tercetus dalam pemikirannya akan kata "Rasa". Rasa apa? Sayang? Cinta? Terhadap siapa? Seseorang yang pernah menghilang beberapa tahun silam, seseorang yang memilih untuk mengambil jalan yang terpisah darinya, seseorang yang bahkan tidak berani mengambil sikap untuk berdiri di sampingnya. Pantaskah Reno mendapatkan pengampunan darinya? Tapi pengampunan seperti apa bila dalam hati Sara sudah tak ada lagi rasa benci terhadap Reno. Semuanya sirna tepat saat Sara mengenali suara di ujung telepon malam itu, kala pertama kali Reno mencoba menghubunginya kembali.

"Coba berpikir praktis, Sar. Reno sedang ada masalah dengan istrinya. Berani taruhan jika dalam beberapa bulan ke depan masalah dengan istrinya sudah selesai, ia pasti akan kembali ke pelukan istrinya lagi. Meninggalkan kamu sendiri seperti saat dulu ia pernah meninggalkanmu. Lalu apa yang kamu dapat? Nggak lebih dari sakit hati." Sara teringat nasihat sahabat karibnya, Tya di suatu siang saat sedang makan bersama. Secara akal sehat, ia sepenuhnya setuju dengan Tya. Mungkin jika ia berada di posisi Tya, ia juga akan memberikan nasihat yang sama persis. Namun Tya tidak merasakan ikatan kuat yang ia rasakan dengan Reno saat mereka mengobrol tengah malam mengenang cerita di masa lalu atau mendiskusikan segala hal dari yang remeh temeh hingga ke topik yang lebih serius. Segalanya terasa nyata. Terasa hangat. Terasa benar. Bahkan hanya sekedar obrolan tengah malam seakan-akan menjadi penyemangat Sara dalam menjalani kehidupan. Sara seperti menemukan tempat untuk berbagi dan bercerita. Reno tak harus melakukan apa-apa. Dengan kehadiran Reno di hidup Sara saja sudah cukup baginya. Ia tak lagi merasa harus menanggung semuanya sendiri. Reno membuat hidup Sara terasa lebih bermakna.

Wanita di ujung sana yang mendampingi Reno setiap malam, membayangkannya saja sudah membuat hati Sara perih, seperti luka terbuka yang disiram dengan alkohol. Ini tidak semudah menentukan mana warna hitam dan mana yang putih. Sara menolak di cap sebagai tokoh antagonis seperti tokoh di sinteron TV lokal. Karena ia pun memiliki hati yang rapuh. Ia juga merasakan sakit sama seperti rasa sakit yang dialami perempuan itu. Jika boleh jujur mana ada perempuan yang ingin dijadikan yang kedua? Tapi apakah dengan begitu artinya Sara harus mengingkari semua yang ia rasakan selama ini? Haruskah Sara menekan apapun itu yang terlanjur tumbuh kembali di relung hatinya? Bukan dirinya yang memilih berada di tempat itu. Sara sudah mencoba berkali-kali lari dari bayang-bayang Reno. Namun entah dengan cara bagaimana, Tuhan selalu punya cara untuk mempertemukan mereka kembali. Berkali-kali Sara bertanya dalam doanya, dalam tangisnya, "Mengapa jalan ini yang Kau pilihkan untukku, Tuhan? Berulang kali aku mencoba memilih jalan lain, mencoba berpaling darinya, mencoba mengingkarinya, namun tanganMu selalu menggiringku kembali ke sisinya. Apakah ini memang jalan dariMu, Tuhan? Mengapa Kau pikir aku kuat untuk menjalani semua ini?"

Apakah ada masa depan antara dirinya dan Reno? Kalaupun ada, akankah semudah itu? Beranikah Sara berharap? Sanggupkah dirinya menghadapi tekanan publik, stereotype masyarakat, dan kecaman dari beberapa pihak yang merasa dirinya paling benar. So much for being the antagonist one, right? Tidakkah mereka sadar semakin mereka merasa paling benar dan mengecam Sara yang duduk di kursi penyakitan tak akan menjadikan mereka sebagai orang yang baik dan tanpa cela, kan?
Sara pernah berandai-andai jika saat itu tiba, saat dimana dirinya dan Reno dapat bersatu, akankah Sara punya hak untuk membela diri, ataukah baiknya ia diam membiarkan semua orang itu bercerita dengan versi mereka masing-masing? Cukup ia, Reno dan Tuhan yang tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Jika saat itu benar-benar tiba, akankah Reno kembali meninggalkannya lagi seperti dulu? Apakah Sara cukup berani untuk mengambil resiko tersakiti lagi?
Jika memang benar mereka akhirnya dapat bersatu kembali, mungkinkah di  kemudian hari salah satu dari mereka akan menyesali keputusan yang mereka ambil? Padahal yang Sara inginkan bukanlah sesuatu yang neko-neko. Mungkin kedengarannya cliche,  namun yang ia inginkan hanyalah kebahagiaan Reno. Dengan atau tanpanya, ia hanya ingin Reno bahagia.
Terlepas dari benar atau salah, Sara meyakini bahwa Reno akan lebih bahagia bersamanya dibandingkan dengan perempuan itu, karena baik Sara maupun Reno benar-benar percaya bahwa apa yang mereka miliki adalah sesuatu yang tidak semua pasangan miliki. Kekuatan batin mereka sungguh kuat terjalin. Hati mereka sudah begitu tertaut, hingga tak ada celah lagi di antaranya. Namun sayangnya semua ini bukanlah keputusan Sara sendiri. Bukan hak Sara untuk menentukan. Saat ini Sara hanyalah orang luar.

Akhirnya nyala di layar telepon genggam Sara berhenti dan membuat Sara terjaga dari lamunannya. Ia menghembuskan napas panjang, "Sampai kapan Reno akan terus berusaha menghubungiku kembali? Sampai pada satu titik, ia pasti akan menyerah pada penolakanku. Bila saat itu datang, mungkin aku bisa tersadar dari mimpiku untuk dapat bersama dengan dirinya." Pikir Sara. Kembali ia menyeruput minumannya dan menyandarkan kepalanya ke sofa yang didudukinya. Sara membiarkan matanya menerawang dan pikirannya terbang sesuka hati mereka, tepat pada saat itu sebuah tepukan halus menyapu pundak Sara. Refleks Sara mengangkat wajahnya dan mendapati sosok wajah yang sangat dikenalnya. Seulas senyum yang menghiasi wajah sosok tersebut secara tidak langsung memicu gelombang emosi di dada Sara. Pelupuk matanya dibasahi air mata dan dengan susah payah ditahannya. Ribuan kata berputar di benak Sara namun tak ada satupun yang dapat keluar dari mulutnya. Reno duduk di samping Sara dan menggenggam lembut tangannya, "Aku menepati janjiku. Menghubungimu setelah semuanya selesai. Mencarimu kembali setelah berhasil menetapkan pikiran dan hatiku. Aku datang kepadamu setelah melewati serangkaian doa, peristiwa dan pemikiran yang tidak mudah namun semuanya mengarah padamu. Sama halnya denganmu, seberapapun usahaku berpaling, petunjuk yang kudapat selalu tentangmu. Tidakkah terpikir di benakmu bahwa ini saatnya bagi kita untuk tak lagi berusaha mengingkariNya dan pasrah mengikuti jalan yang telah Tuhan tetapkan untuk kita berdua?"


Catatan: Cerita ini terinspirasi dari kejadian nyata. Persamaan karakter dan cerita bisa jadi diambil berdasarkan kisah yang didapat penulis dari berbagai sumber, dirangkai menjadi satu dengan beberapa pengembangan detail.