Showing posts with label cerita. Show all posts
Showing posts with label cerita. Show all posts

Thursday, November 20, 2014

Cerpen: Rindu KemARAu Akan Datangnya Hujan

"Seperti apakah hujan itu?"

Ara menengadahkan kepalanya ke atas dan melihat ke langit yang cerah dimalam itu.
Seumur hidupnya, Ara belum pernah merasakan yang namanya hujan.
Belum pernah menikmati sensasi lembutnya air yang menyapu kulit saat tetes hujan mengalir turun ke bawah.
Belum pernah mendengar alunan musik indah yang timbul dari rintik hujan yang jatuh menyentuh tanah.
Belum pernah menikmati indahnya lukisan alam yang terbuat dari titik embun di atas dedaunan hijau.
Belum pernah merasakan damainya jiwa saat tubuh meringkuk di balik selimut atau nikmatnya secangkir hangat susu coklat saat hujan tiba.
Belum pernah menghirup segarnya udara seusai hujan reda.

Radit, suami Ara yang datang dari negeri yang mengenal hujan seringkali menceritakan hal-hal tersebut kepadanya di malam hari sebelum mereka terlelap. Ara senang mendengarkan cerita Radit sambil menyandarkan kepala di bahu Radit. Sementara tangan mereka saling bergenggaman, Ara tak jarang membayangkan cerita Radit menjadi nyata. Membayangkan gradasi warna biru keabuan yang mungkin terjadi di atas langit sana. Membayangkan bagaimana komposisi awan yang berbaur menjadi satu membentuk gumpalan besar. Membayangkan hawa sejuk yang menerpa wajahnya. Membayangkan bagaimana ia berlari-lari kecil mencari tempat yang teduh saat air hujan mulai ditumpahkan ke bawah oleh Penciptanya.
Memang betul seperti kata Radit, Ara percaya bahwa hujan tak selalu seindah itu. Terkadang ada gelegar dan kilatan petir yang memekakkan telinga dan menyilaukan mata. Lalu ada pula air bah yang terkadang merenggut senyum insan manusia. Namun semua resiko itu rela ditempuh Ara yang memang belum dikaruniai anugerah untuk merasakan hujan.

Dalam setiap doanya menjelang tidur dan saat membuka mata di pagi hari, Ara selalu menyelipkan keinginannya untuk dapat merasakan hujan. Ia berkhayal bahwa satu doa yang dikirimkannya adalah satu tetes hujan yang nantinya akan jatuh ke bumi. Ia berharap semakin sering ia mengirimkan doanya ke atas langit, semakin besar pula kesempatan doanya didengarkan Gusti Allah. 

Seperti malam-malam sebelumnya, seusai Ara terlelap setelah mendengar dongeng mengenai hujan, Radit selalu mengecup dahi Ara dan berbisik di telinganya, "Sayangku Ara, jangan pernah berputus asa. Percayalah, di belahan dunia manapun bahkan musim kemARAu yang terpanjang pun pasti akan merasakan datangnya sapuan hujan. Jika saat itu datang ketahuilah aku akan selalu ada di sisimu. We'll dancing in the rain together.. Side by side.. You and I."

Sunday, November 9, 2014

Cerpen: Bayang Masa Lalu Sara

Butiran hujan menetes turun di balik kaca. Sara menyeruput pelan toffenut latte-nya sembari melirik sekilas ke jam tangannya. Ah, waktu... Andaikan manusia memiliki kuasa untuk mengatur cepat lambatnya waktu, memutar ulang ke belakang untuk memperbaiki runutan sejarah dalam hidup mereka, akankah semuanya menjadi lebih baik? Akankah mereka semua berakhir bahagia, ataukah yang terjadi malah sebaliknya? 

Layar telepon genggam Sara menyala dan menampakkan nomor yang dikenalnya. Jantungnya berhenti sejenak dan kemudian berdetak sedikit lebih cepat. Nomor yang beberapa bulan belakangan ini selalu ditunggu-tunggunya, namun tiap kali nomor itu muncul di layar telepon genggamnya, batinnya selalu berperang. Pertarungan hebat antara perasaan dan logikanya. Should I pick up.. or should I not?

Nomor itu adalah nomor seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang masih jelas dalam ingatan Sara pernah menatapnya dengan hangat dan menggenggam tangan mungilnya dengan erat. Seseorang yang juga telah meninggalkannya dalam gelap, sendiri dan membuatnya mempertanyakan pantaskah dirinya dicintai? Seseorang yang seharusnya cukup menjadi masa lalunya. Seseorang yang fotonya pantas ditaruh di dalam boks usang di atas lemari pakaiannya selama ini.

Pertarungan batinnya masih berlangsung seiring dengan nyala lampu di layar telepon genggamnya, seakan menunjukkan kekuatan hati sosok si penelepon yang tak ingin menyerah begitu saja. Sara menekan tombol silence. Hatinya masih tak sanggup untuk menekan tombol reject. "Mengapa logikaku tak pernah menang dalam hal ini?" protesnya dalam hati. God is strangely humorous in His own way, pikirnya. Di saat ia mengira dirinya sudah cukup kuat berdiri di atas kakinya, di saat ia merasa sudah dapat mengendalikan semua variabel dalam hidupnya, di saat ia merasa yakin hidupnya sudah seimbang di usianya yang ke-33 ini, seorang Associate Sales Director di salah satu hotel terkemuka di Jakarta, di situlah Tuhan memutuskan untuk menarik satu variabel ke tengah-tengah kehidupannya yang "sempurna". Variabel itu adalah Reno. Sang mantan. Reno yang saat ini sudah menikah dan sedang mengalami prahara dalam rumah tangganya. Reno yang bercerita ingin melayangkan gugatan cerai kepada istrinya karena merasa sudah tidak dapat lagi menyatukan perbedaan antara mereka berdua. Hilang sudah keseimbangan dalam hidup Sara. Terombang-ambinglah kekuatan hatinya. 

Harusnya Sara mampu mengabaikan Reno seperti ia mampu mengabaikan beberapa laki-laki yang pernah mengajaknya melangkah ke hubungan yang lebih serius. "Untuk apa? Aku sudah bahagia seperti ini. Hidup sendiri. Mandiri. Membuka hati untuk seseorang artinya membuka peluang untuk disakiti lagi. Terpuruk lagi." Namun mengapa hal ini tidak berlaku untuk Reno? Sedalam itukah rasanya kepada Reno? Sara tersenyum kecil saat tercetus dalam pemikirannya akan kata "Rasa". Rasa apa? Sayang? Cinta? Terhadap siapa? Seseorang yang pernah menghilang beberapa tahun silam, seseorang yang memilih untuk mengambil jalan yang terpisah darinya, seseorang yang bahkan tidak berani mengambil sikap untuk berdiri di sampingnya. Pantaskah Reno mendapatkan pengampunan darinya? Tapi pengampunan seperti apa bila dalam hati Sara sudah tak ada lagi rasa benci terhadap Reno. Semuanya sirna tepat saat Sara mengenali suara di ujung telepon malam itu, kala pertama kali Reno mencoba menghubunginya kembali.

"Coba berpikir praktis, Sar. Reno sedang ada masalah dengan istrinya. Berani taruhan jika dalam beberapa bulan ke depan masalah dengan istrinya sudah selesai, ia pasti akan kembali ke pelukan istrinya lagi. Meninggalkan kamu sendiri seperti saat dulu ia pernah meninggalkanmu. Lalu apa yang kamu dapat? Nggak lebih dari sakit hati." Sara teringat nasihat sahabat karibnya, Tya di suatu siang saat sedang makan bersama. Secara akal sehat, ia sepenuhnya setuju dengan Tya. Mungkin jika ia berada di posisi Tya, ia juga akan memberikan nasihat yang sama persis. Namun Tya tidak merasakan ikatan kuat yang ia rasakan dengan Reno saat mereka mengobrol tengah malam mengenang cerita di masa lalu atau mendiskusikan segala hal dari yang remeh temeh hingga ke topik yang lebih serius. Segalanya terasa nyata. Terasa hangat. Terasa benar. Bahkan hanya sekedar obrolan tengah malam seakan-akan menjadi penyemangat Sara dalam menjalani kehidupan. Sara seperti menemukan tempat untuk berbagi dan bercerita. Reno tak harus melakukan apa-apa. Dengan kehadiran Reno di hidup Sara saja sudah cukup baginya. Ia tak lagi merasa harus menanggung semuanya sendiri. Reno membuat hidup Sara terasa lebih bermakna.

Wanita di ujung sana yang mendampingi Reno setiap malam, membayangkannya saja sudah membuat hati Sara perih, seperti luka terbuka yang disiram dengan alkohol. Ini tidak semudah menentukan mana warna hitam dan mana yang putih. Sara menolak di cap sebagai tokoh antagonis seperti tokoh di sinteron TV lokal. Karena ia pun memiliki hati yang rapuh. Ia juga merasakan sakit sama seperti rasa sakit yang dialami perempuan itu. Jika boleh jujur mana ada perempuan yang ingin dijadikan yang kedua? Tapi apakah dengan begitu artinya Sara harus mengingkari semua yang ia rasakan selama ini? Haruskah Sara menekan apapun itu yang terlanjur tumbuh kembali di relung hatinya? Bukan dirinya yang memilih berada di tempat itu. Sara sudah mencoba berkali-kali lari dari bayang-bayang Reno. Namun entah dengan cara bagaimana, Tuhan selalu punya cara untuk mempertemukan mereka kembali. Berkali-kali Sara bertanya dalam doanya, dalam tangisnya, "Mengapa jalan ini yang Kau pilihkan untukku, Tuhan? Berulang kali aku mencoba memilih jalan lain, mencoba berpaling darinya, mencoba mengingkarinya, namun tanganMu selalu menggiringku kembali ke sisinya. Apakah ini memang jalan dariMu, Tuhan? Mengapa Kau pikir aku kuat untuk menjalani semua ini?"

Apakah ada masa depan antara dirinya dan Reno? Kalaupun ada, akankah semudah itu? Beranikah Sara berharap? Sanggupkah dirinya menghadapi tekanan publik, stereotype masyarakat, dan kecaman dari beberapa pihak yang merasa dirinya paling benar. So much for being the antagonist one, right? Tidakkah mereka sadar semakin mereka merasa paling benar dan mengecam Sara yang duduk di kursi penyakitan tak akan menjadikan mereka sebagai orang yang baik dan tanpa cela, kan?
Sara pernah berandai-andai jika saat itu tiba, saat dimana dirinya dan Reno dapat bersatu, akankah Sara punya hak untuk membela diri, ataukah baiknya ia diam membiarkan semua orang itu bercerita dengan versi mereka masing-masing? Cukup ia, Reno dan Tuhan yang tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Jika saat itu benar-benar tiba, akankah Reno kembali meninggalkannya lagi seperti dulu? Apakah Sara cukup berani untuk mengambil resiko tersakiti lagi?
Jika memang benar mereka akhirnya dapat bersatu kembali, mungkinkah di  kemudian hari salah satu dari mereka akan menyesali keputusan yang mereka ambil? Padahal yang Sara inginkan bukanlah sesuatu yang neko-neko. Mungkin kedengarannya cliche,  namun yang ia inginkan hanyalah kebahagiaan Reno. Dengan atau tanpanya, ia hanya ingin Reno bahagia.
Terlepas dari benar atau salah, Sara meyakini bahwa Reno akan lebih bahagia bersamanya dibandingkan dengan perempuan itu, karena baik Sara maupun Reno benar-benar percaya bahwa apa yang mereka miliki adalah sesuatu yang tidak semua pasangan miliki. Kekuatan batin mereka sungguh kuat terjalin. Hati mereka sudah begitu tertaut, hingga tak ada celah lagi di antaranya. Namun sayangnya semua ini bukanlah keputusan Sara sendiri. Bukan hak Sara untuk menentukan. Saat ini Sara hanyalah orang luar.

Akhirnya nyala di layar telepon genggam Sara berhenti dan membuat Sara terjaga dari lamunannya. Ia menghembuskan napas panjang, "Sampai kapan Reno akan terus berusaha menghubungiku kembali? Sampai pada satu titik, ia pasti akan menyerah pada penolakanku. Bila saat itu datang, mungkin aku bisa tersadar dari mimpiku untuk dapat bersama dengan dirinya." Pikir Sara. Kembali ia menyeruput minumannya dan menyandarkan kepalanya ke sofa yang didudukinya. Sara membiarkan matanya menerawang dan pikirannya terbang sesuka hati mereka, tepat pada saat itu sebuah tepukan halus menyapu pundak Sara. Refleks Sara mengangkat wajahnya dan mendapati sosok wajah yang sangat dikenalnya. Seulas senyum yang menghiasi wajah sosok tersebut secara tidak langsung memicu gelombang emosi di dada Sara. Pelupuk matanya dibasahi air mata dan dengan susah payah ditahannya. Ribuan kata berputar di benak Sara namun tak ada satupun yang dapat keluar dari mulutnya. Reno duduk di samping Sara dan menggenggam lembut tangannya, "Aku menepati janjiku. Menghubungimu setelah semuanya selesai. Mencarimu kembali setelah berhasil menetapkan pikiran dan hatiku. Aku datang kepadamu setelah melewati serangkaian doa, peristiwa dan pemikiran yang tidak mudah namun semuanya mengarah padamu. Sama halnya denganmu, seberapapun usahaku berpaling, petunjuk yang kudapat selalu tentangmu. Tidakkah terpikir di benakmu bahwa ini saatnya bagi kita untuk tak lagi berusaha mengingkariNya dan pasrah mengikuti jalan yang telah Tuhan tetapkan untuk kita berdua?"


Catatan: Cerita ini terinspirasi dari kejadian nyata. Persamaan karakter dan cerita bisa jadi diambil berdasarkan kisah yang didapat penulis dari berbagai sumber, dirangkai menjadi satu dengan beberapa pengembangan detail.

Wednesday, October 29, 2014

Tokoh "Sengkuni" Dalam Kehidupan Saya

Saya ingin bercerita tentang seseorang yang (sayangnya) harus saya kenal dan hadir dalam kehidupan saya.
Seumur hidup, baru sekali saya bertemu dengan tipe orang seperti ini dan semoga tak akan lagi harus bertemu dengan orang semacam dia.
Saya termasuk orang yang percaya bahwa dalam setiap tindakan, baik itu tindakan yang dikategorikan tindakan buruk maupun baik oleh khalayak, pasti ada alasan di baliknya. Saya sendiri tipe orang yang cuek, selama tindakan orang tersebut tidak mengganggu saya sih menurut saya sah-sah saja, silahkan saja.
Namun berbagai kejadian yang kebetulan bersinggungan dengan orang ini, selalu saja membuat saya mbatin. Ngelus dada, "Kok ada ya orang yang seperti itu?"

Kalau ada orang yang nanya, emang orangnya seperti apa sih? Kok sepertinya "Luar Biasa" sekali?
Well, betul. Orangnya memang luar biasa unik. Sampe saya ngerasa perlu nulis topik untuk orang ini. Saya harap ini pertama dan terakhir kalinya saya mengangkat topik tentangnya.
Kalau diminta untuk menggambarkan seperti apa sih karakter dari orang ini, mungkin saya akan merujuk pada sosok "Sengkuni".
Bagi yang suka cerita wayang seperti saya yang sedari kecil sudah terbiasa dicekoki ayah saya dengan komik karangan R.A. Kosasih, pasti sudah familiar dengan tokoh "Sengkuni" ini. 

Dalam dunia perwayangan, karakter Sengkuni ini digambarkan sebagai sosok yang licin, licik, hasut dan penuh tipu muslihat. Ia adalah paman sekaligus mahapatih dari Kerajaan Hastinapura yang dikuasai oleh Kurawa.
Ia digambarkan sebagai tokoh yang berperan banyak dalam mengajarkan berbagai akal licik serta tipu muslihat kepada para Kurawa untuk mencapai tujuan tertentu. Contoh perbuatan buruknya adalah menghasut Kurawa untuk meracuni Bima salah satu tokoh Pandawa hingga pingsan untuk kemudian dilemparkan ke dalam Sumur Jalatunda yang penuh ular berbisa. Alih-alih celaka, tubuh Bima yang dipatok ular berbisa malah menjadi kebal dan bertambah kuat karena racun yang diberikan para Kurawa sebelumnya. 
Tipu muslihat lain yang dilakukan Sengkuni adalah saat memperdaya Pandawa dengan kecurangannya dalam bermain judi sehingga menyebabkan Pandawa Lima harus menjalani hukuman menjadi orang buangan selama belasan tahun.

Jika dibandingkan dengan tokoh Sengkuni yang ada di kehidupan saya, orang inilah yang telah "berjasa" mengajarkan dan secara tidak langsung menularkan berbagai cara tipu daya dan kelicikan kepada orang terdekat saya sehingga secara tidak langsung menjerumuskannya ke dalam kesulitan. 
Sedih rasanya saya melihat bagaimana orang terdekat ini bisa dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga membuat ia tidak sadar bahwa pola pikir yang dijalaninya selama bertahun-tahun itu melenceng dari pola pikir umum yang seharusnya, prinsip hidup yang dulu dijalaninya seolah-olah sama persis seperti prinsip hidup tokoh Sengkuni dalam pewayangan: Biarlah yang lain menderita yang penting dirinya bahagia. 

Sengkuni dalam pewayangan digambarkan sebagai sosok yang munafik, tampil sebagai manusia cerdik terdidik, terampil bicara sehingga mudah meraih simpati dan mendapat kepercayaan dari orang. 
Hal ini juga tidak jauh beda dengan si Sengkuni dalam kehidupan nyata saya. Orang ini tergolong terampil bicara, suka tampil, over PD kalau boleh saya katakan, pintar berbohong dan memanipulasi. Dalam mencapai tujuannya, dia bisa lho menggunakan media sosial orang lain dan menulis pesan seolah-olah orang itu yang menulis sendiri. Jadi misalnya nih kalau saya umpamakan sebuah kejadian dimana saya adalah si Sengkuninya dan saya nggak suka teman saya deket sama orang tertentu. Saya akan lakukan berbagai cara untuk menjauhkan orang tersebut dari teman saya. Misalnya dengan login ke medsos milik teman saya dan menuliskan pesan ke orang yang dituju dan mengatakan berbagai macam hal yang tidak sebenarnya dengan mengatasnamakan teman saya sebagai pemilik medsos tersebut. Ck ck ck.. Ada-ada saja ya akal muslihat orang itu? 

Ia juga pandai berbohong (atau munafik ya lebih tepatnya?). Contoh kasusnya saya buatkan perumpamaan ya. Katakanlah orang yang makan roti itu adalah suatu perbuatan yang dicap buruk oleh masyarakat. Maka ia bisa dengan tanpa hati melabeli orang-orang yang makan roti tersebut sebagai makhluk yang rendah. Ia bisa tanpa henti melancarkan "petuah" dengan membawa dalil agama seolah-olah dialah orang yang paling benar. Namun pada kenyataannya ia sendiripun termasuk orang yang menyimpan banyak roti dirumahnya!
Ia juga tipe orang yang bisa mendua dengan sahabat dari pasangannya sendiri. Ia bisa berusaha menjalin pertemanan dengan pasangan dari orang yang sebenarnya ada affair dengannya. Orang ini juga pandai menceritakan kisah yang membuat orang lain trenyuh dengan tidak menceritakan latar belakang sebenarnya dari kisah tersebut. Ia bisa tampil bak pahlawan bagi beberapa orang, padahal sebenarnya ia lah yang mendapat manfaat dari orang yang ditolong tersebut. Ia termasuk orang yang bisa meminjamkan pensil 2 B kepadamu, namun sebagai gantinya ia minta bolpen Parker-mu. Ia adalah tipe orang yang bisa berbicara banyak hal tentang ketuhanan dan dosa-dosa yang dibenci Tuhan sambil menenggak botol minuman beralkohol. Astaga! Seperti yang saya bilang di atas, kok bisa ya ada orang yang seperti itu? 

Namun saya percaya bahwa sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh juga. Semua orang baru yang mengenalnya jika terus menerus bergaul dekat dengannya pasti akan sadar dengan sendirinya, cerita mana yang benar dan mana yang tidak. 

Kembali lagi ke tokoh Sengkuni dalam dunia perwayangan nih, setahu saya cerita wayang itu mengandung filsafat yang dikemas dalam wujud kesenian. Tokoh-tokoh seperti Sengkuni merupakan personifikasi dari sifat manusia licik dan penuh intrik. Ia bersembunyi di balik kedok orang yang santun, relijius, ramah namun di balik itu penuh akal bulus dan munafik. Sadly to say.. Semua personifikasi yang ada di dalam diri Sengkuni, semuanya ada di watak orang tersebut. 
Saya cuma berharap, semoga di kemudian hari saya tidak perlu lagi berurusan lebih jauh dengan orang ini (dan orang-orang yang sejenis dengannya), karena saya yakin dengan membuka sedikit peluang berhubungan dengan orang seperti ini akan lebih banyak mendatangkan kemudharatan dibandingkan manfaat.
Saya juga berharap semoga orang ini cepat disadarkan ke jalan yang benar supaya nggak ngeribetin hidup orang-orang biasa seperti kami yang masih juga belajar memperbaiki diri. Amin YRA.