Sunday, September 14, 2014

Menikmati Kesederhanaan Pulau Tidung


Minggu itu bertepatan dengan long weekend. Hari Jumat pagi sambil beberes di rumah barbie kami bersama-sama dengan suami tercetuslah ide untuk "jalan-jalan spontan" mengisi waktu libur yang tersisa. 
Tadinya kami cuma ingin makan seafood di Muara Angke, tapi kemudian saya kepikiran, "Kenapa nggak ke Pulau Tidung sekalian?" Saya pernah dengar katanya dari Pelabuhan Muara Angke ada kapal yang rutin ke Pulau Tidung dan biaya berlibur kesana jauh lebih murah dibanding ke Kepulauan Seribu yang lainnya seperti P. Bidadari, P. Macan, P. Sepa, dll. karena di Tidung tidak ada fasilitas resort, yang ada hanya homestay sederhana di rumah penduduk lokal.
Mulailah saya browsing di internet dan mendapat kontak pemandu wisata yang menawarkan paket ke Pulau Tidung. 
Paket yang ditawarkan beragam. Ada yang paket lengkap dengan aktivitas snorkeling dan island hoping ke pulau sekitar, BBQ-an di tepi laut di malam hari, dsb. 
Karena saya dan suami termasuk tipe yang kalau pergi liburan tidak ingin terlalu terpatok dengan itinerary dan waktu (baca: ga mau diatur-red) maka kami memilih paket yang paling minim tanpa pemandu wisata lokal, nggak pake aktivitas snorkeling (kami pikir kalau disana tiba-tiba ingin snorkeling ya tinggal nambah buat snorkeling), dan nggak perlu BBQ-an di pinggir pantai. Kalau ingin seafood ya tinggal makan di Muara Angke-nya saja sepulang dari Tidung. 
Intinya coba liburan ngirit. Namanya juga liburan spontan. Hihihi. Kalau saya nggak salah ingat waktu itu kami ambil paket Rp 350 ribu/orang sudah dengan tiket kapal PP, homestay 2 hari 1 malam, dapat makan 3x, 2 botol air mineral ukuran besar dan 2 sepeda untuk berkeliling di Tidung.

Sabtu pagi kami segera menuju ke Pelabuhan Muara Angke. Sampai di sana jam 7 kurang, suasana di Pelabuhan sudah ramai sekali dengan orang-orang yang hendak berlibur ke Tidung dan sekitarnya. 
Setelah akhirnya dapat parkir yang kami rasa cukup aman, kami segera menghubungi pemandu yang menunggu di pelabuhan. Tips saya jika bawa mobil dan ingin parkir menginap di Pelabuhan Muara Angke, baiknya cari parkir yang aman yang tidak dilalui banyak mobil. Jangan meninggalkan barang berharga di dalam mobil yang mungkin dapat menarik perhatian orang untuk berlaku kriminal dan juga siap-siap pewangi mobil dan tissue basah ya. 
Pelabuhan Muara Angke adalah pelabuhan untuk nelayan dan kapal ikan di Jakarta, lokasinya juga berdekatan dengan pasar dan pelelangan ikan jadi suasananya berbeda sekali jika dibandingkan jika kita berangkat dari Pelabuhan Marina, Ancol. Tapi namanya juga liburan hemat, jadi ya.. Dinikmatin ajalah. Seru kok. Rasanya ada sensasi tersendiri jadi bolang. Hihi. 

Perjalanan ke Tidung makan waktu sekitar 2,5 jam. Kami memilih untuk duduk lesehan di bagian belakang kapal sederhana yang mengangkut kami sambil mengamati lalu lalang orang dan menikmati semriwing bau amis pelabuhan. Hahaha.
Sampai di Tidung besar kami segera menghubungi pemandu lokal yang mengantar kami ke homestay
Homestay ini seperti paviliun kecil di bagian depan rumah penduduk dengan 1 kamar sederhana dilengkapi dengan AC dan kamar mandi dalam yang menurut kami cukuplah untuk tempat kami beristirahat dan meletakkan barang-barang. 
Setelah membersihkan diri dan menikmati makan siang yang sudah disiapkan pemilik rumah kami memutuskan untuk segera menjelajahi pulau ini. 
Oya, karena saya nggak lancar naik sepeda akhirnya saya nego dengan pemandu kami agar fasilitas 2 sepeda yang kami dapat bisa ditukar 1 motor. Akhirnya dengan nambah Rp 30 ribu kami bisa dapat fasilitas 1 motor deh. Horee!!


Pemandangan birunya lautan di dermaga dekat Jembatan Cinta

Tujuan pertama kami ke Jembatan Cinta yang katanya jadi icon Pulau Tidung. 
Ada mitos katanya bagi pasangan yang melewati jembatan kayu dengan panjang 800 meter yang menghubungkan Pulau Tidung besar dan Pulau Tidung kecil ini sambil bergandengan tangan, maka kisah asmara mereka akan langgeng hingga tua. 
Ada lagi yang bilang bahwa jembatan cinta juga merupakan jembatan bagi orang yang sedang patah hati. Ada satu spot dimana orang yang sedang patah hati dapat loncat dari jembatan tersebut untuk mengurangi kesedihannya.
Di sekitar jembatan ini suasananya ramai dengan pengunjung, penjual yang menawarkan minuman-makanan dan aktivitas outbound serta olahraga air seperti snorkeling, banana boat, dsb.
Kami menaruh motor di parkiran dan meneruskan perjalanan kami ke Tidung kecil yang merupakan pulau tak berpenghuni berisi hutan mangrove yang dilindungi pemerintah. 

Ada yang menarik di Tidung kecil ini selain hutan mangrove. Disini terdapat makam Panglima Hitam dari Cirebon yang konon katanya melarikan diri bersama pengikutnya ke Tidung setelah kalah perang dengan Belanda. 
Panglima Hitam akhirnya meninggal dan dimakamkan di pulau tersebut di dekat keris, pedang, guci peninggalan dan tempat beribadahnya. Makam ini memang terletak agak jauh dari ujung Jembatan Cinta dan agak tersembunyi. Kami berdua tak sengaja menemukan tempat ini saat sedang menjelajahi ujung Tidung kecil. Hanya ada papan kecil yang menunjukan bahwa disitu terdapat makam. 
Awalnya karena penasaran kami tergerak untuk masuk ke dalam areal pemakaman dan setelah selesai berdoa di samping makam, tiba-tiba ada suara keras di atas makam. 
Kami yang sedikit kaget segera mencari darimana asal suara tersebut dan melihat seekor burung gagak besar di atas pohon dekat makam. 
Anehnya, burung gagak tersebut selalu mengikuti kemanapun kami pergi di areal pemakaman itu. Ketika kami pergi melihat barang peninggalan Panglima Hitam di dekat musholla, burung itu meloncat dari dahan ke dahan di pohon atas kami. Demikian juga saat kami mengitari makam-makam lain, gagak tersebut terus mengikuti. Kami sampai sempat takjub dan merinding dengan adanya "kebetulan" ini. Sampai akhirnya kami keluar dari areal pemakaman dekat pantai, gagak tadi akhirnya terbang kembali ke arah makam. 

Makam Panglima Hitam dan Gagak yang jadi tour guide kami di areal pemakaman

Setelah dari makam kami kembali menyusuri pantai dan kembali ke Jembatan Cinta. Karena cuacanya cukup terik, kami memutuskan untuk istirahat sebentar di pinggir pantai sambil menikmati es kelapa muda yang satunya dihargai Rp 10 ribu. 
Setelah puas jalan-jalan di Tidung kecil, sore itu kami memutuskan ke bagian ujung Tidung besar yang sepi pengunjung. Misinya kami mencari pantai yang sepi agar kami dapat leyeh-leyeh dan bermain air menunggu sunset. 
Setelah melewati jalan-jalan kecil dan ilalang, akhirnya kami menemukan "hot spot" kami. View-nya bagus dengan perairan dangkal. Kami menjelajah sampai ke tengah pantai hingga air agak pasang dan kami sempat bertemu ular laut, namun sayang nggak sempat kami foto karena keburu paranoid soalnya si ular dengan "ramahnya" mengejar kami. Heuheu..


Pantai "hotspot" kami di ujung Tidung besar






































Setelah menunggu sunset yang tak kunjung kelihatan, karena cuaca sore itu cukup mendung dengan angin bertiup kencang kami memutuskan kembali ke homestay untuk mandi dan istirahat sambil menunggu maghrib.
Sampai di homestay, makan malam kami sudah disiapkan. Menunya cukup lengkap dan enak. Ada ikan kembung, sayur bayam, tempe, lalapan dan buah semangka sebagai dessert. Seusai mandi dan makan, hujan sempat turun dengan derasnya.
Kami baru bisa keluar kamar sekitar jam 8-an dan berjalan menuju pantai untuk mencoba restoran di tepi pantai. Saya lupa nama restorannya apa, tapi menu yang ditawarkan cukup beragam dari ikan kue bakar sampai sup sirip hiu. Kami sempat jalan ke pantai dan melihat pemandangan orang-orang yang BBQ-an di pinggir pantai hingga akhirnya kami memutuskan kembali ke homestay untuk istirahat.

Pagi hari sebelum pulang kami berjalan-jalan sekali lagi di area ujung PulauTidung besar. Suami saya sempat tidur-tiduran di salah satu bale-bale di pinggir pantai sementara saya main ayunan yang diikat dengan tali tambang ke atas pohon. Angin sepoi-sepoi serta suasana yang sepi hampir saja membuat kami lupa pulang. Saat jam menunjukan pukul 10.45 kami segera bergegas ke dermaga untuk mengembalikan motor ke pemandu lokal kami dan segera mencari tempat yang enak di kapal menuju Jakarta.
Sampai di Pelabuhan Muara Angke bertepatan dengan jam makan siang sehingga kami memutuskan untuk mampir ke tempat makan favorit kami di Muara Angke.
Kami pulang ke rumah sorenya dengan senyum lebar, perut kenyang dan kenangan akan hangatnya kesederhanaan Pulau Tidung.

Kepiting telur setengah matang di Putra Bone, Muara Angke.



Saturday, September 6, 2014

Not All Those Who Wander Are Lost

Saya dan suami memang hobi travelling. Prinsip kami saat travelling bukan jalan-jalan yang mewah, lebih ke budget traveller.. Travelling dengan menyesuaikan budget yang ada saja. Syukur2 kalau sedang ada rezeki, budget jalan-jalannya bisa agak longgar. Kalau nggak ya acara jalan-jalannya menyesuaikan dengan isi dompet dan rekening tabungan. Hihihi.

Kalau saya sendiri sebelum dengan suami, memang kebetulan dari kecil  sudah terbiasa "dibawa" kemana-mana oleh Papa dan Mama saya. 
Papa yang kebetulan dinas di bank seringkali ditugaskan untuk bekerja di luar kota. Sebagai contoh, walaupun Papa-Mama saya berdarah Jawa Tengah, saya dilahirkan di Bandar Lampung. Sayangnya waktu saya berusia 6 bulan, papa sudah dipindah tugas lagi ke Surabaya dan hingga saat ini saya belum pernah lagi menginjakkan kaki ke Lampung.
Semoga suatu saat nanti sih saya bisa punya kesempatan kesana, kabarnya Teluk Kiluan merupakan objek wisata pantai yang bagus.

Selain Lampung dan Surabaya, saya juga pernah tinggal di Samarinda dan Balikpapan (Kalimantan Timur) selama beberapa tahun.
Di Kota Samarinda inilah kedua adik laki-laki saya lahir. Selama tinggal di Kalimantan, kami juga rutin mengunjungi festival tahunan di Kerajaan Tenggarong, Kutai. Papa memang senang mengenalkan putra-putrinya dengan sejarah, jadi kami seringkali melakukan perjalanan yang sifatnya "napak tilas". Sewaktu saya SD & SMP, kami pernah diajak nyekar ke makam-makam Wali Songo bertepatan dengan momen mudik Lebaran ke Solo.
Setiap menjelang liburan sekolah, biasanya Papa-Mama rutin ajak anak-anaknya liburan. Entah itu ke Bali, atau sekedar ke Anyer dan sekitarnya, Sukabumi, Puncak-Cibodas dan sekitarnya.

Saya juga pernah tinggal di Solo bersama tante dan eyang saya  waktu kelas 1 SMP, namun hanya setahun kemudian Mama minta saya kembali ke Jakarta. Nggak ada yang diomelin mungkin di Jakarta kalau nggak ada saya. Hihihi 

Sewaktu kelas 3 SD saya pernah diajak Papa-Mama ke Amerika untuk menghadiri wisuda Papa selama kurang lebih 3 minggu. Kami sempat ke LA, San Fransisco, Las Vegas, New Mexico, Mexico, transit di Hawaii, dan beberapa tempat lainnya yang saya tidak terlalu ingat :p
Sewaktu kuliah, saya dan teman-teman beberapa kali ke Bali. Waktu itu sih seinget saya kita lebih ngincer jalan-jalan malemnya dibanding ke objek-objek wisata di Bali. Hehehe.
Kemudian hobby travelling saya ini sempat terhenti karena keadaan ekonomi lagi nggak mendukung plus pacar saya waktu itu memang nggak bolehin saya kemana-mana. Boro-boro travelling, ke Mall aja saya harus laporan. Hehehe.
Hobby saya ini berlanjut lagi setelah saya single. Saya dan teman kantor ke Anyer, Lembang, lalu ke Pulau Karimun Jawa yang sukses menggosongkan kulit saya sampai ke tingkat maksimum, kemudian kami juga sempat ke Malaysia lalu ke Singapura untuk tugas kantor. 

Bersama dengan suami, kami sudah ke Thailand saat honeymoon (yang ambience-nya nggak ada honeymoon-honeymoon-nya karena kita lebih sibuk jalan-jalan dibanding "pacaran". Hehehe), Lombok & Gili Trawangan, Bangka, Bali, P. Tidung, Mudik ke Jawa beberapa kali, sekitaran Bandung, dan terakhir kemarin ke Malaysia.

Kalau travelling biasanya sayalah yang paling sibuk berburu tiket dan berburu hotel. Biasanya untuk perjalanan yang lumayan jauh, kami terbiasa untuk "nyicil". Saya bisa beli tiket pesawat itu minimal 4 bulan sebelum perjalanan. Baru kemudian bulan depannya saya cari hotel. Paling tidak hotel dimana kami bisa nginep di hari kami sampai di kota/negara tersebut. Kami punya kebiasaan pindah-pindah hotel. Dimana kami berada, ya disitulah kami baru mencari budget hotel, jadi kami nggak perlu repot-repot terpatok waktu pulang ke hotel saat sedang jalan-jalan di suatu tempat. Sampai saat ini sih kami belum pernah tuh nyoba nginep di Airport. Mungkin suatu saat nanti perlu dicoba kali ya. Dengan catatan, tidak sedang bawa anak kecil tentunya.

Kalau soal packing biasanya kami lakukan bersama-sama. Packing baju dan toiletries  itu biasanya urusan saya, sementara suami biasanya menyiapkan gadget seperti HP, charger2, Power Bank, colokan universal, dll. Oya, kami tidak pernah bawa kamera. Untuk foto2 kami lebih mengandalkan gadget seperti HP/tablet saja supaya lebih praktis.

Biasanya sebelum melakukan perjalanan, saya juga cari tahu terlebih dulu info objek wisata yang menarik dikunjungi. Nanti setelah sampai di tempat, baru deh "tugas" suami untuk cari jalan menuju ke tempat yang dimaksud. Soalnya kalau urusan baca peta, jelas lebih jagoan suami. Kalau saya yang baca peta kemungkinan nyasarnya bisa meningkat 40% lebih besar. Hahaha. Selain peta yang biasa kita ambil di bandara, kita biasanya mengandalkan Google Map/Waze. Aplikasi ini yang biasanya berjasa membantu kami berkeliling dari 1 tempat ke tempat yang lain.

Insyaallah suatu saat nanti, saya pengennya bisa ke seputaran Asean seperti Vietnam, Filipina dan special request dari suami yang pengen ke Thailand lagi karena kami jatuh cinta sama street food-nya Bangkok & Pattaya.
Kalau cita-cita saya... Saya pengen mengunjungi negara Eropa, melihat bangunan bersejarah, menikmati makanan yang selama ini bikin ngiler kalau lagi nonton liputan makanan di AFC. Seperti apa sih rasa asli Pizza dari Italia? Nyicipin keju Mozzarela yang katanya harganya cuma 1 Euro di Supermarket.. Kemudian melihat indahnya bunga tulip di Amsterdam, dll.
Mudah-mudahan suatu saat keinginan saya ini bisa terwujud. Dan mungkin pada saat itu datang, kami tidak lagi travelling berdua seperti sekarang, tapi bertiga (atau berempat?) sama si kecil? Hihihi. Amin YRA.

From Lombok, Gili Trawangan to Bali With Love (Part 3-End)

Nah.. Sampai juga ke episode penyeberangan ferry dari Lombok ke Bali.
Nih saya kasitau ya... untuk menyeberang dari Lombok ke Bali itu salah satunya bisa menggunakan Ferry dari Pelabuhan Lembar. Waktu yang tepat untuk nyebrang itu tengah malam, karena jarak yang ditempuh 5-6 jam, jadi sampainya bisa pas di pagi hari.
Jangan seperti saya yang salah informasi bahwa penyebrangan pakai ferry itu cuma makan waktu hanya 2 jam (belakangan saya baru tahu kalau itu estimasi waktu nyebrang dengan menggunakan fast boat dari Gili), sehingga kami dengan PD-nya naik ferry jam 6 sore dan baru nyadar kalau kita salah "jam" setelah sampai di tengah laut. Bzzz.. 
Alhasil sampailah kami di Pelabuhan Padang Bai, Bali pada tengah malam. Nggak ada angkutan sama sekali, yang ada hanya taksi gelap yang matok harga gila2an dan nyupirnya juga super ugal-ugalan. Tapi karena nggak ada pilihan lain ya sudah mau nggak mau kami terpaksa menggunakan jasa taksi gelap yang dengan "baik hati"nya nurunin kami di pinggir jalan sebelum sampai ke tujuan. Alasannya, rute dia nggak mencakup ke arah sana, kalau mau diantar kesana ya kami harus menambah sejumlah uang lagi. Huh. Ogah amat. Akhirnya kami turun dan cari taksi. Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Kesel sih tapi gpp anggap pelajaran, kalau kata pak guru jaman dulu kan nggak belajar namanya kalo nggak melakukan kesalahan. Hihihi. Menghibur hati sah-sah aja yaa.

Di Bali kami menginap di Fave Hotel, Kuta. Sesampainya di hotel, kami yang sudah kelelahan akibat perjalanan panjang di ferry dan rasa kesal karena taksi gelap tadi langsung beres-beres dan tidur. Paginya saat breakfast saya segera menghubungi kenalan saya yang menyewakan motor untuk transportasi kami di Bali.
Sisi lain Bali selain pantai, otw Tampak Siring













































Wuihh.. Sebenernya agak kasian sama motor yang kita pake ini, karena kita bner2 bawa itu motor dari ujung bali ke ujung bali lagi. Nggak ada tuh namanya kita cuma nongkrong2 di kafe2 pinggir pantai seperti waktu di Lombok dan Gili Trawangan. Kali ini tujuan kami ke Bali adalah jalan2 ke objek2 wisata dan wisata kuliner.

Di bali kita sempat bersantai di pantai Kuta, Sanur, Seminyak dan Legian, Dreamland, GWK, makan seafood di Jimbaran, bersantai di Pantai Pandawa yang tempatnya agak mengingatkan saya dengan Lombok karena masih jarang wisatawan lokalnya, ngejar sunset di Pantai Canggu di pagi hari (yang ngga sempet liat  juga karena agak kesiangan. Hihi). Kemudian kami juga sempat ke Pura Tanah Lot, Pura Besakih, Tampak Siring, Sangeh dan tentunya belanja oleh-oleh di Pasar Seni Kuta, Legian dan Sukawati. Di Bali kami juga sempet ke Skygarden, club yang menurut saya sih nggak banget yah. Moso rasa Long Island-nya kya lemon tea dicampur air. Huekk. Nggak lagi-lagi deh.


Teriknya Dreamland
Ada peristiwa "lucu" sewaktu akan pulang dari Bali. Ceritanya sambil menunggu waktu pulang, kami janjian dengan 2 teman saya yang tinggal di Bali, Debby & Catur. Singkat cerita karena kami keasikan ngobrol di Flapjack (restoran yang menurut saya so-so, tapi harganya sih terjangkau), kami lupa mencocokkan jam kami dengan waktu Bali, kami jadi ketinggalan pesawat. Udah ngebut2 naik motor ke airport, trus lari-lari di parkiran.. Eh akhirnya masih tetep nggak kekejar juga tuh pesawat, padahal selisihnya hanya itungan menit dari waktu boarding. Akhirnya kami terpaksa beli tiket lagi deh. Heuheu. Overall menyenangkan lah liburan kali ini. Ada ngeselinnya, ada yang bikin tegang, tapi banyak seru2annya. See you on the next trip!


From Lombok, Gili Trawangan to Bali With Love (Part 2)

Tujuan selanjutnya dari suami istri bolang kali ini adalah ke Gili Trawangan. Rencananya kami akan nginep semalam di Gili untuk kemudian Island Hoping ke Gili Air dan Gili Meno. Kami parkir kendaraan di Pelabuhan Bangsal. Di sini memang banyak rumah-rumah yang dijadikan tempat penitipan kendaraan bagi yang ingin menyeberang ke Gili Trawangan dan sekitarnya. 
Untuk mobil, tarif menginap semalamnya sekitar Rp 30.000, kebetulan waktu itu mobil kami ditempatkan di dalam garasi yang ada pintu besinya, jadi kami merasa cukup aman, karena dengar-dengar kabar Pelabuhan Bangsal ini termasuk tempat yang tidak aman terutama bagi turis, apalagi turis mancanegara.
Tiket perahu untuk menyeberang ke Gili Trawangan Rp 10.000/orang sekali jalan. Perahu yang dipakai untuk menyeberang juga perahu sederhana yang memuat 20-50 orang dan ada hampir setiap jam setiap harinya. Batas waktu penyeberangan kalau nggak salah jam 5 sore.. CMIIW ya, soalnya saya agak lupa aturannya.

Penyeberangan ke Gili Trawangan memakan waktu sekitar 30-45 menit tergantung kondisi ombak saat itu. Sesampainya di Gili Trawangan, kami langsung mencari penginapan. Di Gili Trawangan, berbagai penginapan tersedia, dari yang fasilitas hotel bintang 5 sampai dengan hostel rumah penduduk juga ada. Kebetulan kami dapat penginapan bergaya bungalow bergaya arsitektur rumah sasak dengan 1 kamar+kamar mandi dalam yang bersih dan cukup memadai. Semalam kami dipatok tarif menginap Rp 350.000 dengan alasan saat itu sedang High Season (harga normal seharusnya antara Rp 250.000 - Rp 275.000/malam).

Setelah membersihkan diri, kami bermaksud untuk bersantai di kafe pinggir pantai karena cuaca saat itu sedang tidak terlalu panas. Untuk dapat mengelilingi pulau, turis-turis seperti kami dapat menyewa sepeda atau naik cidomo (kereta kuda). Menurut saya, suasana di Gili Trawangan nggak berasa seperti di Indonesia. Selain tempatnya meskipun ramai tapi tetap bersih, mungkin juga karena jarang sekali ada turis lokal. Kalau saya liat 85% turis yang ada di sana berasal dari mancanegara. Pemandangannya juga indah, pasirnya putih, lautnya bening, penduduk lokal juga cukup ramah dibandingkan penduduk lokal di Lombok yang entah mungkin mereka belum terlalu terbiasa dengan kehadiran turis atau karena mereka lebih seneng ngeladenin turis mancanegara dibanding turis lokal. Hehehe.

Magic Mushroom yang nggak magic-magic amat

Yang jelas saking kepincutnya di Gili Trawangan, niat Island Hoping  Gili2 yang lain batal. Kita berdua ngendon di Gili Trawangan selama 2 hari. Sempet ditawarin Mushroom sama penjaga hotel saya. Segelas besar milkshake waktu itu harganya Rp 150.000 (mahal ya? katanya sih waktu itu mushroom lagi jarang banget). Bukannya malah halusinasi, eh kita berdua malah sukses tewas di kamar, tidur sampe pagi. Hahaha.. Entah karena kualitas "mushroom"nya udah nggak se-oke jaman dulu, atau karena kita diboongin sama mas-masnya.. Ga tau jg deh. Itu pengalaman bodoh sih.. Hihihihi.


Restoran yang recommended di Gili menurut saya Scallywags. Jadi sebenernya itu resort, tapi ada restoran di pinggir pantainya. Dan makanannya menurut saya.. Hadeuh... Enyak maksimum!! Ga rugi deh makan di sana.


Western Cuisine di Scallywags yang nagih banget





Restoran yang nggak cocok dengan lidah kami itu di Irish Pub & Bar gtu (saya lupa nama persisnya apaan) yang nyajiin seafood bakar. Asli rasa rempah-rempahnya terasa tapi plain banget, selera bule kali yaa.. Seto yang biasanya nggak pernah nggak ngabisin makanan aja, kali itu terpaksa membiarkan beberapa potong seafood pesanan kami nggak habis. Mahal pula harganya. Huhuhu.. Lebih baik sih kalau mau cari makanan dengan harga terjangkau di Gili Trawangan, coba pergi deh ke central marketnya. Disana kalau malam banyak sekali jajanan khas lokal, seafood, dan makanan seperti burger, dll. porsinya juga disesuaikan dengan pelanggannya yang kebanyakan bule-bule, super size. Hehehe.

Sunset di Gili #nofilter

Setelah puas 2 hari di Gili Trawangan (sebenernya sih belum puas. Hehehe), keesokannya kami kembali menyebrang ke Lombok untuk melanjutkan perjalanan ke Bali. Sampai di Lombok kami sempat menyusuri tebing-tebing yang di bawahnya merupakan Pantai Senggigi. Nah kalau di sini suasananya sudah hampir seperti Bali karena ramai, namun pantainya sendiri sudah tidak begitu alami lagi.

Kapan-kapan kalau berkesempatan ke Lombok lagi saya ingin mengunjungi Pantai Pink, yang katanya butiran pasirnya jika terkena matahari akan memancarkan refleksi warna pink seperti di Pulau Komodo, Flores.