Sunday, September 14, 2014

Menikmati Kesederhanaan Pulau Tidung


Minggu itu bertepatan dengan long weekend. Hari Jumat pagi sambil beberes di rumah barbie kami bersama-sama dengan suami tercetuslah ide untuk "jalan-jalan spontan" mengisi waktu libur yang tersisa. 
Tadinya kami cuma ingin makan seafood di Muara Angke, tapi kemudian saya kepikiran, "Kenapa nggak ke Pulau Tidung sekalian?" Saya pernah dengar katanya dari Pelabuhan Muara Angke ada kapal yang rutin ke Pulau Tidung dan biaya berlibur kesana jauh lebih murah dibanding ke Kepulauan Seribu yang lainnya seperti P. Bidadari, P. Macan, P. Sepa, dll. karena di Tidung tidak ada fasilitas resort, yang ada hanya homestay sederhana di rumah penduduk lokal.
Mulailah saya browsing di internet dan mendapat kontak pemandu wisata yang menawarkan paket ke Pulau Tidung. 
Paket yang ditawarkan beragam. Ada yang paket lengkap dengan aktivitas snorkeling dan island hoping ke pulau sekitar, BBQ-an di tepi laut di malam hari, dsb. 
Karena saya dan suami termasuk tipe yang kalau pergi liburan tidak ingin terlalu terpatok dengan itinerary dan waktu (baca: ga mau diatur-red) maka kami memilih paket yang paling minim tanpa pemandu wisata lokal, nggak pake aktivitas snorkeling (kami pikir kalau disana tiba-tiba ingin snorkeling ya tinggal nambah buat snorkeling), dan nggak perlu BBQ-an di pinggir pantai. Kalau ingin seafood ya tinggal makan di Muara Angke-nya saja sepulang dari Tidung. 
Intinya coba liburan ngirit. Namanya juga liburan spontan. Hihihi. Kalau saya nggak salah ingat waktu itu kami ambil paket Rp 350 ribu/orang sudah dengan tiket kapal PP, homestay 2 hari 1 malam, dapat makan 3x, 2 botol air mineral ukuran besar dan 2 sepeda untuk berkeliling di Tidung.

Sabtu pagi kami segera menuju ke Pelabuhan Muara Angke. Sampai di sana jam 7 kurang, suasana di Pelabuhan sudah ramai sekali dengan orang-orang yang hendak berlibur ke Tidung dan sekitarnya. 
Setelah akhirnya dapat parkir yang kami rasa cukup aman, kami segera menghubungi pemandu yang menunggu di pelabuhan. Tips saya jika bawa mobil dan ingin parkir menginap di Pelabuhan Muara Angke, baiknya cari parkir yang aman yang tidak dilalui banyak mobil. Jangan meninggalkan barang berharga di dalam mobil yang mungkin dapat menarik perhatian orang untuk berlaku kriminal dan juga siap-siap pewangi mobil dan tissue basah ya. 
Pelabuhan Muara Angke adalah pelabuhan untuk nelayan dan kapal ikan di Jakarta, lokasinya juga berdekatan dengan pasar dan pelelangan ikan jadi suasananya berbeda sekali jika dibandingkan jika kita berangkat dari Pelabuhan Marina, Ancol. Tapi namanya juga liburan hemat, jadi ya.. Dinikmatin ajalah. Seru kok. Rasanya ada sensasi tersendiri jadi bolang. Hihi. 

Perjalanan ke Tidung makan waktu sekitar 2,5 jam. Kami memilih untuk duduk lesehan di bagian belakang kapal sederhana yang mengangkut kami sambil mengamati lalu lalang orang dan menikmati semriwing bau amis pelabuhan. Hahaha.
Sampai di Tidung besar kami segera menghubungi pemandu lokal yang mengantar kami ke homestay
Homestay ini seperti paviliun kecil di bagian depan rumah penduduk dengan 1 kamar sederhana dilengkapi dengan AC dan kamar mandi dalam yang menurut kami cukuplah untuk tempat kami beristirahat dan meletakkan barang-barang. 
Setelah membersihkan diri dan menikmati makan siang yang sudah disiapkan pemilik rumah kami memutuskan untuk segera menjelajahi pulau ini. 
Oya, karena saya nggak lancar naik sepeda akhirnya saya nego dengan pemandu kami agar fasilitas 2 sepeda yang kami dapat bisa ditukar 1 motor. Akhirnya dengan nambah Rp 30 ribu kami bisa dapat fasilitas 1 motor deh. Horee!!


Pemandangan birunya lautan di dermaga dekat Jembatan Cinta

Tujuan pertama kami ke Jembatan Cinta yang katanya jadi icon Pulau Tidung. 
Ada mitos katanya bagi pasangan yang melewati jembatan kayu dengan panjang 800 meter yang menghubungkan Pulau Tidung besar dan Pulau Tidung kecil ini sambil bergandengan tangan, maka kisah asmara mereka akan langgeng hingga tua. 
Ada lagi yang bilang bahwa jembatan cinta juga merupakan jembatan bagi orang yang sedang patah hati. Ada satu spot dimana orang yang sedang patah hati dapat loncat dari jembatan tersebut untuk mengurangi kesedihannya.
Di sekitar jembatan ini suasananya ramai dengan pengunjung, penjual yang menawarkan minuman-makanan dan aktivitas outbound serta olahraga air seperti snorkeling, banana boat, dsb.
Kami menaruh motor di parkiran dan meneruskan perjalanan kami ke Tidung kecil yang merupakan pulau tak berpenghuni berisi hutan mangrove yang dilindungi pemerintah. 

Ada yang menarik di Tidung kecil ini selain hutan mangrove. Disini terdapat makam Panglima Hitam dari Cirebon yang konon katanya melarikan diri bersama pengikutnya ke Tidung setelah kalah perang dengan Belanda. 
Panglima Hitam akhirnya meninggal dan dimakamkan di pulau tersebut di dekat keris, pedang, guci peninggalan dan tempat beribadahnya. Makam ini memang terletak agak jauh dari ujung Jembatan Cinta dan agak tersembunyi. Kami berdua tak sengaja menemukan tempat ini saat sedang menjelajahi ujung Tidung kecil. Hanya ada papan kecil yang menunjukan bahwa disitu terdapat makam. 
Awalnya karena penasaran kami tergerak untuk masuk ke dalam areal pemakaman dan setelah selesai berdoa di samping makam, tiba-tiba ada suara keras di atas makam. 
Kami yang sedikit kaget segera mencari darimana asal suara tersebut dan melihat seekor burung gagak besar di atas pohon dekat makam. 
Anehnya, burung gagak tersebut selalu mengikuti kemanapun kami pergi di areal pemakaman itu. Ketika kami pergi melihat barang peninggalan Panglima Hitam di dekat musholla, burung itu meloncat dari dahan ke dahan di pohon atas kami. Demikian juga saat kami mengitari makam-makam lain, gagak tersebut terus mengikuti. Kami sampai sempat takjub dan merinding dengan adanya "kebetulan" ini. Sampai akhirnya kami keluar dari areal pemakaman dekat pantai, gagak tadi akhirnya terbang kembali ke arah makam. 

Makam Panglima Hitam dan Gagak yang jadi tour guide kami di areal pemakaman

Setelah dari makam kami kembali menyusuri pantai dan kembali ke Jembatan Cinta. Karena cuacanya cukup terik, kami memutuskan untuk istirahat sebentar di pinggir pantai sambil menikmati es kelapa muda yang satunya dihargai Rp 10 ribu. 
Setelah puas jalan-jalan di Tidung kecil, sore itu kami memutuskan ke bagian ujung Tidung besar yang sepi pengunjung. Misinya kami mencari pantai yang sepi agar kami dapat leyeh-leyeh dan bermain air menunggu sunset. 
Setelah melewati jalan-jalan kecil dan ilalang, akhirnya kami menemukan "hot spot" kami. View-nya bagus dengan perairan dangkal. Kami menjelajah sampai ke tengah pantai hingga air agak pasang dan kami sempat bertemu ular laut, namun sayang nggak sempat kami foto karena keburu paranoid soalnya si ular dengan "ramahnya" mengejar kami. Heuheu..


Pantai "hotspot" kami di ujung Tidung besar






































Setelah menunggu sunset yang tak kunjung kelihatan, karena cuaca sore itu cukup mendung dengan angin bertiup kencang kami memutuskan kembali ke homestay untuk mandi dan istirahat sambil menunggu maghrib.
Sampai di homestay, makan malam kami sudah disiapkan. Menunya cukup lengkap dan enak. Ada ikan kembung, sayur bayam, tempe, lalapan dan buah semangka sebagai dessert. Seusai mandi dan makan, hujan sempat turun dengan derasnya.
Kami baru bisa keluar kamar sekitar jam 8-an dan berjalan menuju pantai untuk mencoba restoran di tepi pantai. Saya lupa nama restorannya apa, tapi menu yang ditawarkan cukup beragam dari ikan kue bakar sampai sup sirip hiu. Kami sempat jalan ke pantai dan melihat pemandangan orang-orang yang BBQ-an di pinggir pantai hingga akhirnya kami memutuskan kembali ke homestay untuk istirahat.

Pagi hari sebelum pulang kami berjalan-jalan sekali lagi di area ujung PulauTidung besar. Suami saya sempat tidur-tiduran di salah satu bale-bale di pinggir pantai sementara saya main ayunan yang diikat dengan tali tambang ke atas pohon. Angin sepoi-sepoi serta suasana yang sepi hampir saja membuat kami lupa pulang. Saat jam menunjukan pukul 10.45 kami segera bergegas ke dermaga untuk mengembalikan motor ke pemandu lokal kami dan segera mencari tempat yang enak di kapal menuju Jakarta.
Sampai di Pelabuhan Muara Angke bertepatan dengan jam makan siang sehingga kami memutuskan untuk mampir ke tempat makan favorit kami di Muara Angke.
Kami pulang ke rumah sorenya dengan senyum lebar, perut kenyang dan kenangan akan hangatnya kesederhanaan Pulau Tidung.

Kepiting telur setengah matang di Putra Bone, Muara Angke.



2 comments:

  1. Membaca ini jadi ada miripnya Tidung dengan Karimunjawa. sama-sama ada trackingnya, ada jembatan cintanya -) Keren deh..

    ReplyDelete
  2. Makasih ya, Mas udh berkunjung ke blog saya :) Iya, betul.. Meskipun dari view, Tidung masih kalah dari Karimun Jawa tapi suasana penduduk yang masih kental kekeluargaan dan nuansa islaminya kurang lebih sama :)
    Saya malah baru tau kalau di Karimun Jawa ada jembatan cintanya jg lho. Waktu saya ke Karimun Jawa yg paling berkesan waktu ke P. Cemara dan berenang sama hiu nya. Hihi

    ReplyDelete