Showing posts with label trip. Show all posts
Showing posts with label trip. Show all posts

Sunday, October 26, 2014

Reminiscing Babel

Jalan-jalan ke Bangka Belitung kali ini sebenarnya nggak direncanakan. Tadinya saya pengen nabung supaya akhir tahun bisa jalan-jalan ke tempat lain, eh kok ndilalah dari kantor diumumin bahwa raker yang diadain tanggal 18-19 Oktober 2014 kali ini perginya ke Belitung. Langsung deh otak jalan-jalannya gatel. Hahaha. Setelah ngobrol sama suami, akhirnya saya coba ajuin cuti tanggal 20-21 Oktober 2014 supaya bisa sekalian liburan sama suami ke Bangka. Suami sendiri waktu itu memang pernah sempet beberapa bulan tinggal di Bangka karena urusan kerjaan, sementara saya sendiri juga sempat ke Bangka hanya saja waktu itu cuma sebentar jadi belum sempat menjelajah. Masih penasaran ceritanya. Hehehe.

Setelah dapat approval cuti dari om bos (HORE!), langsung deh saya cari tiket buat saya pulang plus tiket PP buat suami. Eh, ndilalah lagi.. Ternyata tiket pulang saya bisa di-reimburse ke kantor karena emang udah dapet jatah dari kantor (HORE lagi!!). Alhamdulillah rejeki anak solehah.. Alhasil kami cuma keluar uang untuk tiket PP suami saya sekitar 900 ribuan dengan menggunakan maskapai Sriwijaya Air.

Di Belitung kami mendapat fasilitas dari kantor untuk menginap di Lor In, Tanjung Pandan. Daerah ini sekitar 30 menit perjalanan dari Airport H.A.S Hanandjoedin. Dalam perjalanan menuju hotel saya melihat tambang timah, baik yang sudah tidak beroperasi maupun yang masih aktif berada di kiri kanan saya. 


Masih sempat narsis di Pantai depan hotel, padahal jadwal raker padat merayap waktu itu. Hihihi

Dikarenakan agenda di Belitung adalah Rapat Kerja, saya dan rekan kerja memang nggak terlalu bebas jalan-jalan. Jadwalnya padat merayap kaya jalanan Jakarta. Hanya saja di hari kedua ada kegiatan Island Trip ke Pulau Lengkuas. 
Di kapal menuju ke Lengkuas, kami melewati beberapa pulau, salah satunya Pulau Burung dimana disana ada batu besar yang bentuknya menyerupai paruh burung Garude (Garuda) dan uniknya paruh burung tersebut mengarah ke arah kiblat (barat). Kami juga melewati pulau yang menurut pemandu kapal kami, pulau tersebut milik seorang Tionghoa yang punya peternakan babi sehingga dinamakan Pulau Babi. 


Batu Garude yang famous itu. Memang mirip paruh burung ya?

Sebenarnya ada juga Pulau Pasir, yaitu Pulau yang terdiri atas hamparan pasir yang luas sekali di tengah laut, namun saat itu kondisi sedang pasang sehingga Pulau Pasirnya tidak nampak. Perjalanan ke Pulau Lengkuas makan waktu sekitar 30-45 menit tergantung kondisi ombak. 

Sesampainya di Pulau Lengkuas yang menarik perhatian saya adalah mercusuarnya. Saya dan teman kantor saya, Rika, Mahta dan Rangga memutuskan untuk naik ke atas mercusuar terlebih dulu sebelum snorkeling. Untuk naik ke mercusuar tersebut, kita harus membayar Rp 5.000,- dan melepas alas kaki. Setelah menaiki 18 lantai atau sekitar 300 anak tangga yang cukup curam, sampailah kami di puncak mercusuar yang pemandangannya (dan anginnya) yang luar biasa. Saya nggak berani berlama-lama di luar karena anginnya dahsyat banget. Rasanya takut ketiup secara badan saya imut gini. Hahaha. Belum puas foto-foto di mercusuar, saat saya melihat ke bawah kelihatan sekumpulan teman kantor saya sedang berjalan ke kapal untuk snorkeling, maka dengan terburu-buru saya dan Rika menuruni anak tangga untuk menyusul mereka. Namun sayangnya saat kami sampai di bawah, kapal kami sudah berangkat. Saya sih tidak terlalu kecewa karena saya lagi nggak kepengen banget snorkeling. Yang sedikit kecewa sepertinya Rika, maka untuk mengobati kekecewaannya kami sempat mengelilingi pulau untuk menonton sebagian rekan kami yang sedang memancing di laut. Tak lupa kamimelanjutkan kegiatan foto-foto di bebatuan super besar yang menjadi khas Pantai di Bangka Belitung. Konon katanya, batu-batu tersebut dulu asalnya dari letusan Gunung Krakatau. Humm.. Jadi ngebayangin betapa seremnya kejadian waktu itu.


Mercusuar Pantai Lengkuas

Puas foto-foto, kami memutuskan kembali ke mercusuar karena di dekat situ ada warung kecil yang menjual minuman dan makanan. Karena lapar, kami sempat pesan mie instan sambil ngobrol sama mas penjaganya. Dari mas itu kami tahu bahwa Pulau Lengkuas ini merupakan salah satu tempat penangkaran penyu. Kami sempat melihat ke tempat penetasan telur penyu dan kolam berisi puluhan penyu yang baru berusia 5 hari. 

Selain Pulau Lengkuas, kami juga sempat ke Pantai Tanjung Tinggi tempat syuting Laskar Pelangi. Sayangnya walaupun pemandangan di sana indah, namun pantai ini sudah agak kotor dengan sampah-sampah pengunjung. Tapi itu tak mengurangi niat kami untuk mengabadikan momen lewat foto-foto tentunya. 


Tanjung Tinggi, Belitong

Sejenak berandai-andai jadi Laskar Pelangi

Hari Senin, 20 Oktober 2014 saya dan suami sudah standby sejak jam 6 pagi di Pelabuhan Tanjung Pandan untuk menyeberang ke Bangka. Jadwal jetfoil KM Express Bahari dari Belitung ke Bangka hanya sekali dalam sehari yaitu pukul 07.00 WIB, kecuali hari Selasa dimana pada hari tersebut tidak ada jadwal penyeberangan. Jadi mau tidak mau, pada Hari Senin tersebut kami harus lakukan penyeberangan, kalau tidak mau membeli tiket pesawat ke Bangka yang harganya kurang lebih sama dengan tiket ke Jakarta. 

Ada cerita lucu saat di pelabuhan. Kebetulan HP suami saya mati total saat itu, padahal nomor HP rental mobil tersimpan disana. Untungnya suami dan Mas Eka dari rental mobil sudah janjian sehari sebelumnya untuk bertemu di pelabuhan. Sampai dengan pukul 06.30 WIB Mas Eka masih tidak nampak batang hidungnya di pelabuhan, kami mulai deg-degan sebab harus kemana kami menitipkan kunci dan STNK kalau si empu-nya mobil nggak juga muncul?
Kebetulan saat sedang menunggu, suami saya melihat ada satu keluarga yang diantar oleh guide lokal dengan menggunakan mobil rental. Seusai keluarga tersebut turun, suami saya dengan modal nekat mengetuk kaca mobil dan menceritakan bahwa HP-nya mati total sehingga tidak dapat menghubungi orang yang menyewakan mobil rental kepada kami, pemilik mobil ditunggu-tunggu juga tidak terlihat di pelabuhan. Untungnya, setelah menunjukkan STNK mobil, guide lokal tersebut ternyata kenal dengan pemilik mobil dan berbaik hati membantu menghubungi rental kami. Tidak sampai 15 menit kemudian, Mas Eka rental mobil kami datang dengan diantar motor. Dengan lega di detik-detik terakhir kami menyerahkan mobil ke Mas Eka.

Lain lagi cerita saat antri tiket di Pelabuhan. Sementara suami saya mencari Mas Eka, tugas saya adalah antri untuk beli tiket. 
Namun sialnya hari itu petugas loketnya telat. Jadwal kapal berangkat pukul 07.00 WIB, namun sampai pukul 06.30 WIB lewat loket masih juga kosong padahal dari pengeras suara pihak pelabuhan sudah menginfokan agar para penumpang segera ke atas kapal bagi yang sudah memiliki tiket. Humph. Makin spaneng deh rasanya nunggu loket buka.
Antrian sudah panjang ke belakang tapi saya cukup tenang karena kami sudah datang dari pagi dan dapat antrian nomor tiga dari depan. Kurang 15 menit dari jadwal keberangkatan, petugas loket baru datang dengan tergopoh-gopoh. Tepat saat loket dibuka, tiba-tiba antrian yang tadinya (lumayan) rapih jadi seketika berantakan. Semua orang yang antri di belakang serentak langsung menyerbu ke depan. Banyak dari yang antri sepertinya calo tiket, karena mereka beli tiket dalam jumlah yang langsung banyak. Saya yang tadinya berencana beli tiket kelas Bisnis, urung beli karena tiba-tiba diberitahu kalau tiket Bisnis sudah habis! Nah lho.. Kok bisa? Padahal saya kan antrinya termasuk bagian paling depan?? Dengan rasa mangkel akibat desak-desakan akhirnya kami (terpaksa) beli tiket kelas VIP dengan harga satu tiket Rp 285.000,-, padahal di papan tertera 3 kategori harga tiket: Bisnis Rp 190.000,-; Executive Rp 195.000,- dan VIP 230.000,- .

Benar-benar pengalaman buruk banget deh di Pelabuhan tersebut. Sudah masyarakatnya nggak bisa antri dengan baik, petugas juga tidak ada kesadaran untuk merapihkan antrian, belum lagi petugas loketnya datang telat dan super lelet sehingga menyebabkan jadwal keberangkatan juga mundur, belum lagi harga tiket yang tidak sesuai dengan yang ada di papan. Hummm.. Ya sudahlah, dijadikan pelajaran aja. Lain kali kalau mau nyeberang dari Belitung-Bangka, lebih baik pesan tiket sebelumnya atau sekalian aja naik pesawat.

Perjalanan dari Belitung-Bangka lewat laut makan waktu sekitar 4 jam. Sesampainya di Pelabuhan Pangkal Balam, Bangka kami segera naik angkot ke pasar untuk cari makan terlebih dulu. Angkot yang kami tumpangi minta tarif Rp 10.000,- per orang. 
Menu pertama yang kami coba siang itu tentunya Mie Bangka yang terkenal itu. Yang menarik perhatian saya hampir setiap makanan di Bangka menggunakan jeruk kunci, jeruk khas Bangka yang rasanya sedikit lebih manis dari jeruk nipis. Setelah kenyang dengan besarnya porsi Mie Bangka yang kami makan kami segera melanjutkan naik angkot kembali untuk mencari hotel. Kali ini angkotnya mengenakan tarif normal yaitu Rp 2.500,-/orang. 
Kami memutuskan untuk bermalam di Damai Inn, di kawasan Pangkal Pinang dengan tarif hotel Rp 220.000,-/malam (sudah termasuk pajak). 
Hotelnya sendiri sederhana, namun cukup bersih. Cukuplah bagi kami untuk beristirahat dan menaruh barang-barang, mengingat kami pasti menghabiskan hampir seluruh waktu kami di luar untuk jalan-jalan sayang rasanya kalau mengeluarkan uang lebih untuk hotel mahal.

Usai bersih-bersih sejenak dan suami mencari rental mobil di lobby hotel, kami segera bersiap keluar untuk jalan-jalan. Rental di Bangka yang kami dapat ini harganya sama dengan di Belitung yaitu Rp 250.000,-/hari. Perjalanan pertama kami ke Pantai Pasir Padi yang konon katanya unik karena kontur pantainya yang landai dan tekstur pasirnya keras sehingga kita bisa jalan sampai ke tengah laut karena airnya juga tidak terlalu dalam. Dalam perjalanan menuju pantai, sayangnya ban mobil kami sempat robek karena tertancap paku besar, jadi perjalanan sedikit terhambat untuk ganti ban dengan ban serep. Sesampai di Pantai Pasir Padi, kami segera parkir mobil di pinggir pantai dan jalan hingga hampir ke tengah laut yang ada beton-beton pemecah ombaknya. Kami duduk-duduk disana dan menikmati sunset yang arahnya berseberangan dengan pantai. Hingga matahari tenggelam kami segera bergegas kembali ke Pangkal Pinang untuk mencari makan malam.


Foto ini diambil di tengah laut lho.. Pantainya landai jadi mudah bagi kami untuk berjalan ke tengah-tengah laut

Malam itu atas anjuran suami saya makan tekwan, yang menurut saya rasanya mantab. Asinnya pas, kuah bening dengan rasa sup ikan yang kerasa banget apalagi ditambah perasan jeruk kunci, irisan jamur dan bengkoang. Segar banget! Suami sendiri memilih untuk makan pempek kapal selam yang menurut saya rasanya lebih manis dari pempek pada umumnya, tapi setelah agak lama rasa pedasnya baru terasa menggigit. 


Tekwan yang super seger dengan perasan Jeruk Kunci


Wisata kuliner malam itu nggak berhenti sampai di situ saja, kami langsung lanjut ke Alun-Alun Kota yang disingkat ATM oleh masyarakat setempat. Bahkan pada malam yang bukan akhir pekan, tempat ini ramai dikunjungi masyarakat yang membawa anggota keluarganya. Yang remaja bisa makan-makan di sekitar alun-alun, yang anak-anak bisa main di berbagai macam jenis permainan yang ada di sana, salah satunya semacam mobil-mobilan mini yang bisa dikendalikan remote control oleh orang tua mereka. Di sana kami juga sempat mencoba jajanan berupa gorengan yang pada dasarnya berasal dari ikan namun diolah menjadi berbagai macam jenis. Delapan potong gorengan ditambah dengan segelas susu kedelai, kami cukup mengeluarkan uang Rp 12.000,- saja. Harusnya malam itu wisata kuliner kami ditutup dengan makan buah duren, namun sayangnya karena bukan musimnya, kami tidak dapat menemukan satupun pedagang durian yang biasanya ada di sepanjang jalan.

Jadwal hari terakhir kami di Babel adalah Beaches Marathon sebelum jadwal pulang kami ke Jakarta pukul 17.10 WIB sorenya. Namun sebelumnya kami berencana sarapan dulu ke warung kopi yang terkenal di Bangka yaitu Warung Kopi Tung Tau. Entah Google Maps dan Waze-nya lagi kacau, bukannya ketemu si warkop kami malah sempat kesasar sampai ke kuburan cina. Sempat hampir menyerah, akhirnya warkop ini secara tidak sengaja ketemu dalam perjalan kami ke Pantai Parang Tenggiri. Warkop Tung Tau ini terletak di perempatan pasar di Jl. Muhidin. Sudah berdiri sejak tahun 1938 dengan resep yang diwariskan turun temurun dan dikelola sendiri oleh generasi penerusnya. Semua kedongkolan karena sempat kesasar tadi terbayarkan saat makan roti panggang telur dan mencicipi kopi susu serta teh susunya. Semuanya enak. Roti panggangnya crunchy di luar tapi lembut banget di dalam. Buat seseorang yang nggak bisa minum kopi seperti saya aja, sepertinya saya jatuh cinta sama rasa kopinya. Sebagai bekal di perjalanan, akhirnya kami memutuskan untuk take away roti panggang isi srikaya. Oya, so far menurut saya jajanan dan makanan di Bangka ini harganya bersahabat dengan dompet merah saya. Menyenangkan deh pokoknya. Hehehe.


Wajib mampir ke Tung Tau kalau lagi di Bangka

Sarapan sudah, saatnya ke Pantai Parang Tenggiri. Pantai ini sebenarnya bukan pantai umum, jika masuk ke pantai, kita harus membayar Rp 25.000,-/orang, karena wilayah pantai ini memang masuk ke dalam wilayah Parang Tenggiri Beach, Resort & Spa. Kami sempat menemukan hotspot di Parang Tenggiri berupa pantai kecil di balik bebatuan dekat restoran hotel yang tempatnya menjorok ke tengah laut. 

Hotspot di Pantai Parang Tenggiri, pantai mini dibalik bebatuan

Pantai Parang Tenggiri yang bersih

Tujuan kedua adalah Pantai Matras yang letaknya bersebelahan dengan Pantai Parang Tenggiri. Saat kami kesana sepertinya sedang ada restorasi di Pantai Matras, sehingga akhirnya kami terus menyusuri jalan mencari pantai yang lebih nyaman tanpa ada kehadiran excavator-excavator di pinggir pantai. Sedikit off road dan sempat berhenti di area bekas tambang timah, akhirnya kami menemukan spot di daerah Matras yang indahnya luar biasa. Pantainya nihil orang, dengan bebatuan besar dan uniknya di pinggir pantai juga ada rawa yang banyak ikan dan udangnya. Kami agak lama menjelajah di pantai tersebut. Loncat dari satu batu ke batu yang lain dan sedikit bermain air di bibir pantai.



Berasa pantai pribadi

Rawa di seberang dalam pantai. Kami menemukan banyak udang dan ikan di sini

Indahnya Pantai Matras dengan bebatuan besar khas pantai di Babel

Jernih ya airnya?

Bersanntai di salah satu batu besar Pantai Matras

Tujuan selanjutnya adalah Teluk Kenangan.. Eh, Teluk Uber maksudnya.. Hehehe. Di Pantai Uber ini sedikit berbeda dengan pantai-pantai di Bangka lainnya karena warna pasirnya yang sedikit kehitaman. Kami sempat berenang di sana, bahkan sempat nemuin ubur-ubur yang setiap mau difoto pasti kabur.


Berenang sebelum pulang

Nggak terasa jam sudah menunjukan hampir pukul 13.30 WIB, kami segera bergegas ke hotel untuk check out dan menyempatkan diri ke Museum Timah Indonesia yang dikelola oleh PT Timah, Tbk. Di museum yang tadinya merupakan tempat bersejarah yaitu tempat diselenggarakan dan ditandatanganinya Perjanjian Roem Royen ini kita bisa belajar banyak tentang sejarah timah di Indonesia, bahkan saya dengar Museum ini adalah satu-satunya museum Timah di Asia Tenggara. Sayang kami tak bisa berlama-lama di sana karena harus mengejar pesawat ke Bandara Depati Amir.


Mangkuk keruk timah yang ukurannya bisa nampung saya dan suami sekaligus sepertinya. Hihihi

Sempat delay karena cuaca saat itu super mendung, akhirnya pukul 18.30 kami take off juga ke Jakarta. Begitu banyak cerita yang bisa saya bagi dalam waktu yang singkat. Jika ada kesempatan, saya dan suami ingin sekali kembali ke sana, karena masih banyak sekali tempat yang ingin kami kunjungi. Pantai-pantai, Bangka Botanical Garden, Kampung Pecinan di Belinyu, daerah bersejarah Muntok, dan lain-lain. Yang pasti kota Bangka selalu punya tempat tersendiri di hati kami, karena kota ini adalah awal pertemuan kembali saya dan suami..

Happy Anniversary, my dearest one.
I love you above and beyond. 


Friday, October 10, 2014

Random Weekend Getaway to Puncak

Suatu malam ngobrol dengan suami. Ingin sekali-sekali kumpul dengan keluarga suami.. Gantian lah ceritanya, berhubung selama ini memang lebih sering berkumpul dengan keluarga saya. Setelah diskusi, akhirnya diputuskanlah untuk pergi ke Puncak, menyewa satu villa terus malamnya bbq-an rame-rame. 

Mulailah saya sibuk browsing cari villa yang kira-kira cukup untuk 3-4 keluarga kecil yang sesuai dengan budget di Agoda.com. Kebetulan saya dulu memang cukup sering cari hotel di sini baik untuk urusan kantor maupun untuk urusan pribadi. Setelah cari sana-sini, akhirnya saya putuskan untuk coba booking 1 villa di Cluster Osaka, Kota Bunga Puncak.
Pertimbangannya selain karena sesuai dengan budget, jumlah kamarnya cukup banyak. Ada 5 kamar tidur dengan 3 kamar mandi. Dua kamar mandi di luar dan satu kamar mandi di master bedroom. Fasilitas lainnya selain ruang keluarga juga ada dapur yang menurut testimoni pengunjung sebelumnya sudah lengkap dengan peralatan masaknya. Untuk villa dengan fasilitas yang cukup memadai tersebut, saya hanya perlu merogoh kocek kurang dari Rp 700 ribu. Nominal yang murah jika dibandingkan dengan harga villa dengan fasilitas serupa di daerah Lembang yang harganya pasti sudah di atas Rp 1 juta.

Villa sudah di-booked. Tinggal menunggu hari H saja. Namun sayangnya mendekati hari H dari keluarga suami banyak yang berhalangan, padahal sehari sebelumnya saya sudah sempat belanja 'murah-meriah' untuk bbq-an di Giant (bukan promosi. Tapi untuk bbq-an dengan menu yang sederhana, ga yang mewah-mewah amat, belanja di sini emang terhitung murah. Hehehe). Akhirnya di Hari H kami 'putar haluan' deh dengan mengajak saudara-saudara dari pihak saya. Jadilah mama, 2 kakak saya, 4 keponakan serta adik dan calon istrinya konvoi berangkat ke puncak.

Kami jalan dari Cinere sekitar dzuhur, siang itu panasnya menyengat sekali. Kami sempat berhenti di rest area KM 58. Adik dan keponakan saya menyempatkan mampir ke Starbucks, sementara saya yang bukan pecinta kopi cukup membekali diri dengan sebotol air mineral saja. Hehehe. Selesai jajan, kami melanjutkan perjalanan menyusul mobil kakak saya yang sudah lebih dulu berangkat.

Mendekati Ciawi saya di-Watsapp kakak yang memberitahukan kalau jalan naik ke Puncak sedang ditutup dan baru dibuka kembali jam 6 sore nanti. Mendengar hal tersebut kami berinisiatif lewat jalan alternatif. Di sekitar pintu tol Ciawi cukup padat dengan pedagang dan orang-orang yang menawarkan jasanya untuk mengantar mobil-mobil yang tidak ingin menunggu sistem buka-tutup ini melewati jalur alternatif. Kami sendiri memutuskan untuk tidak menggunakan jasa penunjuk jalan ini. Selain karena suami saya memang cukup hapal dengan jalan alternatif di Puncak, sekarang ini kan juga ada aplikasi Waze jadi ga perlu takut kesasar. 
Lewat jalan alternatif ini menurut saya bagi pengguna mobil matic dan mobil sedan tidak disarankan, karena rutenya cukup berliku dan tanjakannya juga tajam dengan kondisi jalan yang tidak terlalu baik. 

Nampaknya saat itu kami sedang kurang beruntung. Setelah 'berjuang' melewati lika-liku tajam kehidupan.. Eh, lika liku jalanan. Hanya beberapa meter dari jalan utama, mobil kami dihentikan karena sistem buka tutup ke arah bawah puncak masih berlaku. Akhirnya kami tetap harus menunggu sampai dengan pukul 18.00 lewat baru dapat melanjutkan perjalanan kami menuju ke Kota Bunga.

Hampir pukul 19.00 kami sampai di Kota Bunga. Sempat agak kesulitan mencari kantor marketingnya karena tidak ada petunjuk yang cukup jelas dan letak kantornya pun cukup jauh ke dalam. Sesampai di kantor marketing, saya cukup menyebutkan nama dan email booking kepada petugas, kemudian petugas segera meminta saya mengikuti salah satu staff yang akan menunjukan letak villa yang kami tempati.

Villa tersebut terletak di cluster Osaka sehingga desainnya berbau Jepang, unik dengan aksen pintu depan geser. Letak villanya di pinggir jalan Hoek, sehingga menyisakan lahan untuk taman yang dilangkapi gazebo dan sebuah ayunan. Di bagian depan villa ada kolam kecil yang pada akhirnya jadi tempat favorit dua keponakan saya, Dewa dan Noah karena di situ mereka bisa bermain air dan menangkap kecebong.




Ini tampak depan villa kami
Setelah bersih-bersih dan meluruskan kaki yang cukup pegal sesuai perjalanan tadi, kami segera bersiap-siap untuk bbq. Kami sempat keluar sebentar untuk beli beras, arang untuk bakar-bakar dan beberapa keperluan lain di mini market yang letaknya satu area dengan kantor marketing tadi. Sayangnya sampai di villa, ibu saya memberitahu kalau ia tidak dapat menemukan wadah untuk nasi di dalam rice cooker yang sudah tersedia di villa, sehingga tetap saja kami tidak bisa menanak nasi. Kali ini adik saya yang menawarkan diri keluar untuk membeli nasi sementara kami menyiapkan bumbu bbq dan mulai menyalakan 'panggangan darurat' yang bahan-bahannya kami temukan di villa. 

Malam itu kami habiskan dengan bbq-an di luar rumah. Tentu saja, yang paling banyak porsi makannya ya saya dan suami. Hahaha. Seusai makan, saya yang agak teler memilih tiduran di sofa ruang tengah sambil menemani suami yang main Monopoly On The Go bareng adik, calon istri adik saya, dan keponakan.
Nggak games di Tab, nggak  di dunia nyata kayaknya semua lagi pada keranjingan main monopoli lagi ya. Hihihi. Sampai jam 2 dini hari baru saya dibangunkan suami untuk pindah masuk ke kamar *tutup tirai* *eh*

Yang perlu dicatat jika menginap di Kota Bunga, sebisa mungkin jangan ambil villa di pinggir jalan raya karena cenderung berisik dengan orang-orang yang kebanyakan berdarah Arab (Oops.. Bukannya rasis, tapi memang banyak banget keturunan Arab di sana) yang mondar-mandir dengan mobil yang dibuka kacanya sehingga suara musik terdengar keras dari dalam kendaraan mereka, atau suara knalpot mereka yang kebut-kebutan bahkan di malam hari. Untuk itu sebaiknya kasih pengertian juga untuk anak-anak kecil agar tidak sendirian bermain di jalan raya tanpa ditemani orang dewasa.

Saya terbangun pukul 06.30 dan langsung mendapati bahwa tadi pagi mobil kami sudah dicuci bersih oleh beberapa anak muda tanpa diminta. Sempat kuatir kalau-kalau ongkos yang mereka minta mahal untuk 1 mobil, ternyata setelah ditanya mereka hanya minta ongkos 15 ribu per mobilnya. Saat saya, kakak dan Shayna keponakan saya menyempatkan diri untuk jalan-jalan di sekitar villa ada beberapa kusir dengan kudanya yang menawarkan jasa menunggang kuda keliling kompleks. Untuk satu putaran dikenakan biaya 25 ribu per kuda. 


Pagi-pagi belum sarapan udah keliling naik kuda

Di Kota Bunga ini juga banyak pedagang yang menjajakan makanan. Mulai dari nasi uduk, pedagang pisang, gemblong, sampai SPG minuman fermentasi juga ada. Mereka akan mampir ke depan villa menawarkan dagangannya silih berganti. Namun jangan kuatir, mereka bukan tipe pedagang yang memaksa agar kita membeli dagangannya, jadi tolak saja dengan halus jika anda tidak berminat.

Seusai sarapan dan mandi pagi, kami segera beberes untuk bersiap-siap pulang. Ada rencana sebelum pulang untuk mampir ke Kebun Raya Cibodas. Saya sudah puluhan tahun tidak ke Cibodas. Terakhir itu SD kalau nggak salah ingat. Dulu keluarga saya kalau libur atau sedang ada keluarga dari Solo yang datang berkunjung, biasanya akan kami ajak ke Puncak, masuk Taman Safari dan wisata ke Cibodas agar anak-anak dapat bebas berlarian sampai terjatuh guling-gulingan di areal Cibodas yang memang konturnya berbukit-bukit. Itu saja rasanya bukan main senangnya ngalahin jalan-jalan ke Mall :p

Kebun Raya Cibodas merupakan gerbang awal bagi pendaki yang ingin naik ke Gunung Gede. Di sana banyak pohon-pohon yang usianya sudah ratusan tahun, air terjun Cismun, berbagai tanaman bonsai, anggrek langka sampai dengan bunga bangkai dapat ditemukan disini. Tiket masuk ke Cibodas untuk mobil dikenakan 16 ribu sementara per orangnya Rp 9.500,-. Ternyata disana nggak banyak berubah. Anak- anak senang sekali bermain di lapangan terbuka di bawah pohon-pohon rindang dengan udara yang cukup sejuk dibandingkan saat di Kota Bunga. Sambil mengamati anak-anak yang sedang bermain, kami memutuskan menyewa plastik untuk alas kami duduk-duduk di bawah pohon sambil menikmati bekal makan nasi goreng telor ceplok home made suami saya. Hehehe. Betul juga keputusan untuk membawa bekal makan dari rumah karena dagangan yang dijajakan di sini harganya relatif sudah dinaikkan, misalnya saja sebotol air mineral ukuran sedang dihargai 10 ribu rupiah.


Kapan terakhir kali anda piknik di taman terbuka?

Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB saat kami memutuskan untuk turun dan pulang ke Jakarta. Saya dan suami beserta adik dan pacarnya memutuskan untuk duluan turun sementara rombongan di mobil kakak saya ingin belanja sayur mayur dulu di areal parkiran luar kebun raya yang memang dipenuhi pedagang sayuran, buah dan souvenir.

Alhamdulillah perjalanan turun dari Puncak kami relatif lebih lancar dibanding saat naik, karena bertepatan dengan arus turun ke arah Jakarta. Kami sempat minum sekoteng dan makan jagung bakar di Masjid Atta'awun, turun sedikit kami melanjutkan wisata kuliner kami dengan menyantap poffertjes dan segelas susu coklat sambil menikmati pemandangan orang-orang yang sedang parasailing dari atas bukit. Suatu saat saya ingin coba ah..



Santapan wajib kalau ke Puncak 

Meskipun puncak saat ini tidak sesejuk dulu dan sudah cukup banyak yang berubah karena sekarang terasa lebih ramai, terutama oleh pendatang keturunan dan hampir semua toko, agen tour travel serta restoran sudah menggunakan plang dengan tulisan arab gundul dan kalau tidak dibantu dengan gambar visual dari apa yang ditawarkan agak menyulitkan pembeli namun perjalanan ini cukup menyenangkan. Terutama karena kami sekeluarga sudah cukup lama tidak berkumpul liburan sama-sama. Jadi memotivasi saya untuk merancang liburan keluarga lagi nih! ^^








Sunday, September 14, 2014

Menikmati Kesederhanaan Pulau Tidung


Minggu itu bertepatan dengan long weekend. Hari Jumat pagi sambil beberes di rumah barbie kami bersama-sama dengan suami tercetuslah ide untuk "jalan-jalan spontan" mengisi waktu libur yang tersisa. 
Tadinya kami cuma ingin makan seafood di Muara Angke, tapi kemudian saya kepikiran, "Kenapa nggak ke Pulau Tidung sekalian?" Saya pernah dengar katanya dari Pelabuhan Muara Angke ada kapal yang rutin ke Pulau Tidung dan biaya berlibur kesana jauh lebih murah dibanding ke Kepulauan Seribu yang lainnya seperti P. Bidadari, P. Macan, P. Sepa, dll. karena di Tidung tidak ada fasilitas resort, yang ada hanya homestay sederhana di rumah penduduk lokal.
Mulailah saya browsing di internet dan mendapat kontak pemandu wisata yang menawarkan paket ke Pulau Tidung. 
Paket yang ditawarkan beragam. Ada yang paket lengkap dengan aktivitas snorkeling dan island hoping ke pulau sekitar, BBQ-an di tepi laut di malam hari, dsb. 
Karena saya dan suami termasuk tipe yang kalau pergi liburan tidak ingin terlalu terpatok dengan itinerary dan waktu (baca: ga mau diatur-red) maka kami memilih paket yang paling minim tanpa pemandu wisata lokal, nggak pake aktivitas snorkeling (kami pikir kalau disana tiba-tiba ingin snorkeling ya tinggal nambah buat snorkeling), dan nggak perlu BBQ-an di pinggir pantai. Kalau ingin seafood ya tinggal makan di Muara Angke-nya saja sepulang dari Tidung. 
Intinya coba liburan ngirit. Namanya juga liburan spontan. Hihihi. Kalau saya nggak salah ingat waktu itu kami ambil paket Rp 350 ribu/orang sudah dengan tiket kapal PP, homestay 2 hari 1 malam, dapat makan 3x, 2 botol air mineral ukuran besar dan 2 sepeda untuk berkeliling di Tidung.

Sabtu pagi kami segera menuju ke Pelabuhan Muara Angke. Sampai di sana jam 7 kurang, suasana di Pelabuhan sudah ramai sekali dengan orang-orang yang hendak berlibur ke Tidung dan sekitarnya. 
Setelah akhirnya dapat parkir yang kami rasa cukup aman, kami segera menghubungi pemandu yang menunggu di pelabuhan. Tips saya jika bawa mobil dan ingin parkir menginap di Pelabuhan Muara Angke, baiknya cari parkir yang aman yang tidak dilalui banyak mobil. Jangan meninggalkan barang berharga di dalam mobil yang mungkin dapat menarik perhatian orang untuk berlaku kriminal dan juga siap-siap pewangi mobil dan tissue basah ya. 
Pelabuhan Muara Angke adalah pelabuhan untuk nelayan dan kapal ikan di Jakarta, lokasinya juga berdekatan dengan pasar dan pelelangan ikan jadi suasananya berbeda sekali jika dibandingkan jika kita berangkat dari Pelabuhan Marina, Ancol. Tapi namanya juga liburan hemat, jadi ya.. Dinikmatin ajalah. Seru kok. Rasanya ada sensasi tersendiri jadi bolang. Hihi. 

Perjalanan ke Tidung makan waktu sekitar 2,5 jam. Kami memilih untuk duduk lesehan di bagian belakang kapal sederhana yang mengangkut kami sambil mengamati lalu lalang orang dan menikmati semriwing bau amis pelabuhan. Hahaha.
Sampai di Tidung besar kami segera menghubungi pemandu lokal yang mengantar kami ke homestay
Homestay ini seperti paviliun kecil di bagian depan rumah penduduk dengan 1 kamar sederhana dilengkapi dengan AC dan kamar mandi dalam yang menurut kami cukuplah untuk tempat kami beristirahat dan meletakkan barang-barang. 
Setelah membersihkan diri dan menikmati makan siang yang sudah disiapkan pemilik rumah kami memutuskan untuk segera menjelajahi pulau ini. 
Oya, karena saya nggak lancar naik sepeda akhirnya saya nego dengan pemandu kami agar fasilitas 2 sepeda yang kami dapat bisa ditukar 1 motor. Akhirnya dengan nambah Rp 30 ribu kami bisa dapat fasilitas 1 motor deh. Horee!!


Pemandangan birunya lautan di dermaga dekat Jembatan Cinta

Tujuan pertama kami ke Jembatan Cinta yang katanya jadi icon Pulau Tidung. 
Ada mitos katanya bagi pasangan yang melewati jembatan kayu dengan panjang 800 meter yang menghubungkan Pulau Tidung besar dan Pulau Tidung kecil ini sambil bergandengan tangan, maka kisah asmara mereka akan langgeng hingga tua. 
Ada lagi yang bilang bahwa jembatan cinta juga merupakan jembatan bagi orang yang sedang patah hati. Ada satu spot dimana orang yang sedang patah hati dapat loncat dari jembatan tersebut untuk mengurangi kesedihannya.
Di sekitar jembatan ini suasananya ramai dengan pengunjung, penjual yang menawarkan minuman-makanan dan aktivitas outbound serta olahraga air seperti snorkeling, banana boat, dsb.
Kami menaruh motor di parkiran dan meneruskan perjalanan kami ke Tidung kecil yang merupakan pulau tak berpenghuni berisi hutan mangrove yang dilindungi pemerintah. 

Ada yang menarik di Tidung kecil ini selain hutan mangrove. Disini terdapat makam Panglima Hitam dari Cirebon yang konon katanya melarikan diri bersama pengikutnya ke Tidung setelah kalah perang dengan Belanda. 
Panglima Hitam akhirnya meninggal dan dimakamkan di pulau tersebut di dekat keris, pedang, guci peninggalan dan tempat beribadahnya. Makam ini memang terletak agak jauh dari ujung Jembatan Cinta dan agak tersembunyi. Kami berdua tak sengaja menemukan tempat ini saat sedang menjelajahi ujung Tidung kecil. Hanya ada papan kecil yang menunjukan bahwa disitu terdapat makam. 
Awalnya karena penasaran kami tergerak untuk masuk ke dalam areal pemakaman dan setelah selesai berdoa di samping makam, tiba-tiba ada suara keras di atas makam. 
Kami yang sedikit kaget segera mencari darimana asal suara tersebut dan melihat seekor burung gagak besar di atas pohon dekat makam. 
Anehnya, burung gagak tersebut selalu mengikuti kemanapun kami pergi di areal pemakaman itu. Ketika kami pergi melihat barang peninggalan Panglima Hitam di dekat musholla, burung itu meloncat dari dahan ke dahan di pohon atas kami. Demikian juga saat kami mengitari makam-makam lain, gagak tersebut terus mengikuti. Kami sampai sempat takjub dan merinding dengan adanya "kebetulan" ini. Sampai akhirnya kami keluar dari areal pemakaman dekat pantai, gagak tadi akhirnya terbang kembali ke arah makam. 

Makam Panglima Hitam dan Gagak yang jadi tour guide kami di areal pemakaman

Setelah dari makam kami kembali menyusuri pantai dan kembali ke Jembatan Cinta. Karena cuacanya cukup terik, kami memutuskan untuk istirahat sebentar di pinggir pantai sambil menikmati es kelapa muda yang satunya dihargai Rp 10 ribu. 
Setelah puas jalan-jalan di Tidung kecil, sore itu kami memutuskan ke bagian ujung Tidung besar yang sepi pengunjung. Misinya kami mencari pantai yang sepi agar kami dapat leyeh-leyeh dan bermain air menunggu sunset. 
Setelah melewati jalan-jalan kecil dan ilalang, akhirnya kami menemukan "hot spot" kami. View-nya bagus dengan perairan dangkal. Kami menjelajah sampai ke tengah pantai hingga air agak pasang dan kami sempat bertemu ular laut, namun sayang nggak sempat kami foto karena keburu paranoid soalnya si ular dengan "ramahnya" mengejar kami. Heuheu..


Pantai "hotspot" kami di ujung Tidung besar






































Setelah menunggu sunset yang tak kunjung kelihatan, karena cuaca sore itu cukup mendung dengan angin bertiup kencang kami memutuskan kembali ke homestay untuk mandi dan istirahat sambil menunggu maghrib.
Sampai di homestay, makan malam kami sudah disiapkan. Menunya cukup lengkap dan enak. Ada ikan kembung, sayur bayam, tempe, lalapan dan buah semangka sebagai dessert. Seusai mandi dan makan, hujan sempat turun dengan derasnya.
Kami baru bisa keluar kamar sekitar jam 8-an dan berjalan menuju pantai untuk mencoba restoran di tepi pantai. Saya lupa nama restorannya apa, tapi menu yang ditawarkan cukup beragam dari ikan kue bakar sampai sup sirip hiu. Kami sempat jalan ke pantai dan melihat pemandangan orang-orang yang BBQ-an di pinggir pantai hingga akhirnya kami memutuskan kembali ke homestay untuk istirahat.

Pagi hari sebelum pulang kami berjalan-jalan sekali lagi di area ujung PulauTidung besar. Suami saya sempat tidur-tiduran di salah satu bale-bale di pinggir pantai sementara saya main ayunan yang diikat dengan tali tambang ke atas pohon. Angin sepoi-sepoi serta suasana yang sepi hampir saja membuat kami lupa pulang. Saat jam menunjukan pukul 10.45 kami segera bergegas ke dermaga untuk mengembalikan motor ke pemandu lokal kami dan segera mencari tempat yang enak di kapal menuju Jakarta.
Sampai di Pelabuhan Muara Angke bertepatan dengan jam makan siang sehingga kami memutuskan untuk mampir ke tempat makan favorit kami di Muara Angke.
Kami pulang ke rumah sorenya dengan senyum lebar, perut kenyang dan kenangan akan hangatnya kesederhanaan Pulau Tidung.

Kepiting telur setengah matang di Putra Bone, Muara Angke.



Saturday, September 6, 2014

Not All Those Who Wander Are Lost

Saya dan suami memang hobi travelling. Prinsip kami saat travelling bukan jalan-jalan yang mewah, lebih ke budget traveller.. Travelling dengan menyesuaikan budget yang ada saja. Syukur2 kalau sedang ada rezeki, budget jalan-jalannya bisa agak longgar. Kalau nggak ya acara jalan-jalannya menyesuaikan dengan isi dompet dan rekening tabungan. Hihihi.

Kalau saya sendiri sebelum dengan suami, memang kebetulan dari kecil  sudah terbiasa "dibawa" kemana-mana oleh Papa dan Mama saya. 
Papa yang kebetulan dinas di bank seringkali ditugaskan untuk bekerja di luar kota. Sebagai contoh, walaupun Papa-Mama saya berdarah Jawa Tengah, saya dilahirkan di Bandar Lampung. Sayangnya waktu saya berusia 6 bulan, papa sudah dipindah tugas lagi ke Surabaya dan hingga saat ini saya belum pernah lagi menginjakkan kaki ke Lampung.
Semoga suatu saat nanti sih saya bisa punya kesempatan kesana, kabarnya Teluk Kiluan merupakan objek wisata pantai yang bagus.

Selain Lampung dan Surabaya, saya juga pernah tinggal di Samarinda dan Balikpapan (Kalimantan Timur) selama beberapa tahun.
Di Kota Samarinda inilah kedua adik laki-laki saya lahir. Selama tinggal di Kalimantan, kami juga rutin mengunjungi festival tahunan di Kerajaan Tenggarong, Kutai. Papa memang senang mengenalkan putra-putrinya dengan sejarah, jadi kami seringkali melakukan perjalanan yang sifatnya "napak tilas". Sewaktu saya SD & SMP, kami pernah diajak nyekar ke makam-makam Wali Songo bertepatan dengan momen mudik Lebaran ke Solo.
Setiap menjelang liburan sekolah, biasanya Papa-Mama rutin ajak anak-anaknya liburan. Entah itu ke Bali, atau sekedar ke Anyer dan sekitarnya, Sukabumi, Puncak-Cibodas dan sekitarnya.

Saya juga pernah tinggal di Solo bersama tante dan eyang saya  waktu kelas 1 SMP, namun hanya setahun kemudian Mama minta saya kembali ke Jakarta. Nggak ada yang diomelin mungkin di Jakarta kalau nggak ada saya. Hihihi 

Sewaktu kelas 3 SD saya pernah diajak Papa-Mama ke Amerika untuk menghadiri wisuda Papa selama kurang lebih 3 minggu. Kami sempat ke LA, San Fransisco, Las Vegas, New Mexico, Mexico, transit di Hawaii, dan beberapa tempat lainnya yang saya tidak terlalu ingat :p
Sewaktu kuliah, saya dan teman-teman beberapa kali ke Bali. Waktu itu sih seinget saya kita lebih ngincer jalan-jalan malemnya dibanding ke objek-objek wisata di Bali. Hehehe.
Kemudian hobby travelling saya ini sempat terhenti karena keadaan ekonomi lagi nggak mendukung plus pacar saya waktu itu memang nggak bolehin saya kemana-mana. Boro-boro travelling, ke Mall aja saya harus laporan. Hehehe.
Hobby saya ini berlanjut lagi setelah saya single. Saya dan teman kantor ke Anyer, Lembang, lalu ke Pulau Karimun Jawa yang sukses menggosongkan kulit saya sampai ke tingkat maksimum, kemudian kami juga sempat ke Malaysia lalu ke Singapura untuk tugas kantor. 

Bersama dengan suami, kami sudah ke Thailand saat honeymoon (yang ambience-nya nggak ada honeymoon-honeymoon-nya karena kita lebih sibuk jalan-jalan dibanding "pacaran". Hehehe), Lombok & Gili Trawangan, Bangka, Bali, P. Tidung, Mudik ke Jawa beberapa kali, sekitaran Bandung, dan terakhir kemarin ke Malaysia.

Kalau travelling biasanya sayalah yang paling sibuk berburu tiket dan berburu hotel. Biasanya untuk perjalanan yang lumayan jauh, kami terbiasa untuk "nyicil". Saya bisa beli tiket pesawat itu minimal 4 bulan sebelum perjalanan. Baru kemudian bulan depannya saya cari hotel. Paling tidak hotel dimana kami bisa nginep di hari kami sampai di kota/negara tersebut. Kami punya kebiasaan pindah-pindah hotel. Dimana kami berada, ya disitulah kami baru mencari budget hotel, jadi kami nggak perlu repot-repot terpatok waktu pulang ke hotel saat sedang jalan-jalan di suatu tempat. Sampai saat ini sih kami belum pernah tuh nyoba nginep di Airport. Mungkin suatu saat nanti perlu dicoba kali ya. Dengan catatan, tidak sedang bawa anak kecil tentunya.

Kalau soal packing biasanya kami lakukan bersama-sama. Packing baju dan toiletries  itu biasanya urusan saya, sementara suami biasanya menyiapkan gadget seperti HP, charger2, Power Bank, colokan universal, dll. Oya, kami tidak pernah bawa kamera. Untuk foto2 kami lebih mengandalkan gadget seperti HP/tablet saja supaya lebih praktis.

Biasanya sebelum melakukan perjalanan, saya juga cari tahu terlebih dulu info objek wisata yang menarik dikunjungi. Nanti setelah sampai di tempat, baru deh "tugas" suami untuk cari jalan menuju ke tempat yang dimaksud. Soalnya kalau urusan baca peta, jelas lebih jagoan suami. Kalau saya yang baca peta kemungkinan nyasarnya bisa meningkat 40% lebih besar. Hahaha. Selain peta yang biasa kita ambil di bandara, kita biasanya mengandalkan Google Map/Waze. Aplikasi ini yang biasanya berjasa membantu kami berkeliling dari 1 tempat ke tempat yang lain.

Insyaallah suatu saat nanti, saya pengennya bisa ke seputaran Asean seperti Vietnam, Filipina dan special request dari suami yang pengen ke Thailand lagi karena kami jatuh cinta sama street food-nya Bangkok & Pattaya.
Kalau cita-cita saya... Saya pengen mengunjungi negara Eropa, melihat bangunan bersejarah, menikmati makanan yang selama ini bikin ngiler kalau lagi nonton liputan makanan di AFC. Seperti apa sih rasa asli Pizza dari Italia? Nyicipin keju Mozzarela yang katanya harganya cuma 1 Euro di Supermarket.. Kemudian melihat indahnya bunga tulip di Amsterdam, dll.
Mudah-mudahan suatu saat keinginan saya ini bisa terwujud. Dan mungkin pada saat itu datang, kami tidak lagi travelling berdua seperti sekarang, tapi bertiga (atau berempat?) sama si kecil? Hihihi. Amin YRA.

From Lombok, Gili Trawangan to Bali With Love (Part 3-End)

Nah.. Sampai juga ke episode penyeberangan ferry dari Lombok ke Bali.
Nih saya kasitau ya... untuk menyeberang dari Lombok ke Bali itu salah satunya bisa menggunakan Ferry dari Pelabuhan Lembar. Waktu yang tepat untuk nyebrang itu tengah malam, karena jarak yang ditempuh 5-6 jam, jadi sampainya bisa pas di pagi hari.
Jangan seperti saya yang salah informasi bahwa penyebrangan pakai ferry itu cuma makan waktu hanya 2 jam (belakangan saya baru tahu kalau itu estimasi waktu nyebrang dengan menggunakan fast boat dari Gili), sehingga kami dengan PD-nya naik ferry jam 6 sore dan baru nyadar kalau kita salah "jam" setelah sampai di tengah laut. Bzzz.. 
Alhasil sampailah kami di Pelabuhan Padang Bai, Bali pada tengah malam. Nggak ada angkutan sama sekali, yang ada hanya taksi gelap yang matok harga gila2an dan nyupirnya juga super ugal-ugalan. Tapi karena nggak ada pilihan lain ya sudah mau nggak mau kami terpaksa menggunakan jasa taksi gelap yang dengan "baik hati"nya nurunin kami di pinggir jalan sebelum sampai ke tujuan. Alasannya, rute dia nggak mencakup ke arah sana, kalau mau diantar kesana ya kami harus menambah sejumlah uang lagi. Huh. Ogah amat. Akhirnya kami turun dan cari taksi. Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Kesel sih tapi gpp anggap pelajaran, kalau kata pak guru jaman dulu kan nggak belajar namanya kalo nggak melakukan kesalahan. Hihihi. Menghibur hati sah-sah aja yaa.

Di Bali kami menginap di Fave Hotel, Kuta. Sesampainya di hotel, kami yang sudah kelelahan akibat perjalanan panjang di ferry dan rasa kesal karena taksi gelap tadi langsung beres-beres dan tidur. Paginya saat breakfast saya segera menghubungi kenalan saya yang menyewakan motor untuk transportasi kami di Bali.
Sisi lain Bali selain pantai, otw Tampak Siring













































Wuihh.. Sebenernya agak kasian sama motor yang kita pake ini, karena kita bner2 bawa itu motor dari ujung bali ke ujung bali lagi. Nggak ada tuh namanya kita cuma nongkrong2 di kafe2 pinggir pantai seperti waktu di Lombok dan Gili Trawangan. Kali ini tujuan kami ke Bali adalah jalan2 ke objek2 wisata dan wisata kuliner.

Di bali kita sempat bersantai di pantai Kuta, Sanur, Seminyak dan Legian, Dreamland, GWK, makan seafood di Jimbaran, bersantai di Pantai Pandawa yang tempatnya agak mengingatkan saya dengan Lombok karena masih jarang wisatawan lokalnya, ngejar sunset di Pantai Canggu di pagi hari (yang ngga sempet liat  juga karena agak kesiangan. Hihi). Kemudian kami juga sempat ke Pura Tanah Lot, Pura Besakih, Tampak Siring, Sangeh dan tentunya belanja oleh-oleh di Pasar Seni Kuta, Legian dan Sukawati. Di Bali kami juga sempet ke Skygarden, club yang menurut saya sih nggak banget yah. Moso rasa Long Island-nya kya lemon tea dicampur air. Huekk. Nggak lagi-lagi deh.


Teriknya Dreamland
Ada peristiwa "lucu" sewaktu akan pulang dari Bali. Ceritanya sambil menunggu waktu pulang, kami janjian dengan 2 teman saya yang tinggal di Bali, Debby & Catur. Singkat cerita karena kami keasikan ngobrol di Flapjack (restoran yang menurut saya so-so, tapi harganya sih terjangkau), kami lupa mencocokkan jam kami dengan waktu Bali, kami jadi ketinggalan pesawat. Udah ngebut2 naik motor ke airport, trus lari-lari di parkiran.. Eh akhirnya masih tetep nggak kekejar juga tuh pesawat, padahal selisihnya hanya itungan menit dari waktu boarding. Akhirnya kami terpaksa beli tiket lagi deh. Heuheu. Overall menyenangkan lah liburan kali ini. Ada ngeselinnya, ada yang bikin tegang, tapi banyak seru2annya. See you on the next trip!


From Lombok, Gili Trawangan to Bali With Love (Part 2)

Tujuan selanjutnya dari suami istri bolang kali ini adalah ke Gili Trawangan. Rencananya kami akan nginep semalam di Gili untuk kemudian Island Hoping ke Gili Air dan Gili Meno. Kami parkir kendaraan di Pelabuhan Bangsal. Di sini memang banyak rumah-rumah yang dijadikan tempat penitipan kendaraan bagi yang ingin menyeberang ke Gili Trawangan dan sekitarnya. 
Untuk mobil, tarif menginap semalamnya sekitar Rp 30.000, kebetulan waktu itu mobil kami ditempatkan di dalam garasi yang ada pintu besinya, jadi kami merasa cukup aman, karena dengar-dengar kabar Pelabuhan Bangsal ini termasuk tempat yang tidak aman terutama bagi turis, apalagi turis mancanegara.
Tiket perahu untuk menyeberang ke Gili Trawangan Rp 10.000/orang sekali jalan. Perahu yang dipakai untuk menyeberang juga perahu sederhana yang memuat 20-50 orang dan ada hampir setiap jam setiap harinya. Batas waktu penyeberangan kalau nggak salah jam 5 sore.. CMIIW ya, soalnya saya agak lupa aturannya.

Penyeberangan ke Gili Trawangan memakan waktu sekitar 30-45 menit tergantung kondisi ombak saat itu. Sesampainya di Gili Trawangan, kami langsung mencari penginapan. Di Gili Trawangan, berbagai penginapan tersedia, dari yang fasilitas hotel bintang 5 sampai dengan hostel rumah penduduk juga ada. Kebetulan kami dapat penginapan bergaya bungalow bergaya arsitektur rumah sasak dengan 1 kamar+kamar mandi dalam yang bersih dan cukup memadai. Semalam kami dipatok tarif menginap Rp 350.000 dengan alasan saat itu sedang High Season (harga normal seharusnya antara Rp 250.000 - Rp 275.000/malam).

Setelah membersihkan diri, kami bermaksud untuk bersantai di kafe pinggir pantai karena cuaca saat itu sedang tidak terlalu panas. Untuk dapat mengelilingi pulau, turis-turis seperti kami dapat menyewa sepeda atau naik cidomo (kereta kuda). Menurut saya, suasana di Gili Trawangan nggak berasa seperti di Indonesia. Selain tempatnya meskipun ramai tapi tetap bersih, mungkin juga karena jarang sekali ada turis lokal. Kalau saya liat 85% turis yang ada di sana berasal dari mancanegara. Pemandangannya juga indah, pasirnya putih, lautnya bening, penduduk lokal juga cukup ramah dibandingkan penduduk lokal di Lombok yang entah mungkin mereka belum terlalu terbiasa dengan kehadiran turis atau karena mereka lebih seneng ngeladenin turis mancanegara dibanding turis lokal. Hehehe.

Magic Mushroom yang nggak magic-magic amat

Yang jelas saking kepincutnya di Gili Trawangan, niat Island Hoping  Gili2 yang lain batal. Kita berdua ngendon di Gili Trawangan selama 2 hari. Sempet ditawarin Mushroom sama penjaga hotel saya. Segelas besar milkshake waktu itu harganya Rp 150.000 (mahal ya? katanya sih waktu itu mushroom lagi jarang banget). Bukannya malah halusinasi, eh kita berdua malah sukses tewas di kamar, tidur sampe pagi. Hahaha.. Entah karena kualitas "mushroom"nya udah nggak se-oke jaman dulu, atau karena kita diboongin sama mas-masnya.. Ga tau jg deh. Itu pengalaman bodoh sih.. Hihihihi.


Restoran yang recommended di Gili menurut saya Scallywags. Jadi sebenernya itu resort, tapi ada restoran di pinggir pantainya. Dan makanannya menurut saya.. Hadeuh... Enyak maksimum!! Ga rugi deh makan di sana.


Western Cuisine di Scallywags yang nagih banget





Restoran yang nggak cocok dengan lidah kami itu di Irish Pub & Bar gtu (saya lupa nama persisnya apaan) yang nyajiin seafood bakar. Asli rasa rempah-rempahnya terasa tapi plain banget, selera bule kali yaa.. Seto yang biasanya nggak pernah nggak ngabisin makanan aja, kali itu terpaksa membiarkan beberapa potong seafood pesanan kami nggak habis. Mahal pula harganya. Huhuhu.. Lebih baik sih kalau mau cari makanan dengan harga terjangkau di Gili Trawangan, coba pergi deh ke central marketnya. Disana kalau malam banyak sekali jajanan khas lokal, seafood, dan makanan seperti burger, dll. porsinya juga disesuaikan dengan pelanggannya yang kebanyakan bule-bule, super size. Hehehe.

Sunset di Gili #nofilter

Setelah puas 2 hari di Gili Trawangan (sebenernya sih belum puas. Hehehe), keesokannya kami kembali menyebrang ke Lombok untuk melanjutkan perjalanan ke Bali. Sampai di Lombok kami sempat menyusuri tebing-tebing yang di bawahnya merupakan Pantai Senggigi. Nah kalau di sini suasananya sudah hampir seperti Bali karena ramai, namun pantainya sendiri sudah tidak begitu alami lagi.

Kapan-kapan kalau berkesempatan ke Lombok lagi saya ingin mengunjungi Pantai Pink, yang katanya butiran pasirnya jika terkena matahari akan memancarkan refleksi warna pink seperti di Pulau Komodo, Flores.