Sunday, October 26, 2014

Reminiscing Babel

Jalan-jalan ke Bangka Belitung kali ini sebenarnya nggak direncanakan. Tadinya saya pengen nabung supaya akhir tahun bisa jalan-jalan ke tempat lain, eh kok ndilalah dari kantor diumumin bahwa raker yang diadain tanggal 18-19 Oktober 2014 kali ini perginya ke Belitung. Langsung deh otak jalan-jalannya gatel. Hahaha. Setelah ngobrol sama suami, akhirnya saya coba ajuin cuti tanggal 20-21 Oktober 2014 supaya bisa sekalian liburan sama suami ke Bangka. Suami sendiri waktu itu memang pernah sempet beberapa bulan tinggal di Bangka karena urusan kerjaan, sementara saya sendiri juga sempat ke Bangka hanya saja waktu itu cuma sebentar jadi belum sempat menjelajah. Masih penasaran ceritanya. Hehehe.

Setelah dapat approval cuti dari om bos (HORE!), langsung deh saya cari tiket buat saya pulang plus tiket PP buat suami. Eh, ndilalah lagi.. Ternyata tiket pulang saya bisa di-reimburse ke kantor karena emang udah dapet jatah dari kantor (HORE lagi!!). Alhamdulillah rejeki anak solehah.. Alhasil kami cuma keluar uang untuk tiket PP suami saya sekitar 900 ribuan dengan menggunakan maskapai Sriwijaya Air.

Di Belitung kami mendapat fasilitas dari kantor untuk menginap di Lor In, Tanjung Pandan. Daerah ini sekitar 30 menit perjalanan dari Airport H.A.S Hanandjoedin. Dalam perjalanan menuju hotel saya melihat tambang timah, baik yang sudah tidak beroperasi maupun yang masih aktif berada di kiri kanan saya. 


Masih sempat narsis di Pantai depan hotel, padahal jadwal raker padat merayap waktu itu. Hihihi

Dikarenakan agenda di Belitung adalah Rapat Kerja, saya dan rekan kerja memang nggak terlalu bebas jalan-jalan. Jadwalnya padat merayap kaya jalanan Jakarta. Hanya saja di hari kedua ada kegiatan Island Trip ke Pulau Lengkuas. 
Di kapal menuju ke Lengkuas, kami melewati beberapa pulau, salah satunya Pulau Burung dimana disana ada batu besar yang bentuknya menyerupai paruh burung Garude (Garuda) dan uniknya paruh burung tersebut mengarah ke arah kiblat (barat). Kami juga melewati pulau yang menurut pemandu kapal kami, pulau tersebut milik seorang Tionghoa yang punya peternakan babi sehingga dinamakan Pulau Babi. 


Batu Garude yang famous itu. Memang mirip paruh burung ya?

Sebenarnya ada juga Pulau Pasir, yaitu Pulau yang terdiri atas hamparan pasir yang luas sekali di tengah laut, namun saat itu kondisi sedang pasang sehingga Pulau Pasirnya tidak nampak. Perjalanan ke Pulau Lengkuas makan waktu sekitar 30-45 menit tergantung kondisi ombak. 

Sesampainya di Pulau Lengkuas yang menarik perhatian saya adalah mercusuarnya. Saya dan teman kantor saya, Rika, Mahta dan Rangga memutuskan untuk naik ke atas mercusuar terlebih dulu sebelum snorkeling. Untuk naik ke mercusuar tersebut, kita harus membayar Rp 5.000,- dan melepas alas kaki. Setelah menaiki 18 lantai atau sekitar 300 anak tangga yang cukup curam, sampailah kami di puncak mercusuar yang pemandangannya (dan anginnya) yang luar biasa. Saya nggak berani berlama-lama di luar karena anginnya dahsyat banget. Rasanya takut ketiup secara badan saya imut gini. Hahaha. Belum puas foto-foto di mercusuar, saat saya melihat ke bawah kelihatan sekumpulan teman kantor saya sedang berjalan ke kapal untuk snorkeling, maka dengan terburu-buru saya dan Rika menuruni anak tangga untuk menyusul mereka. Namun sayangnya saat kami sampai di bawah, kapal kami sudah berangkat. Saya sih tidak terlalu kecewa karena saya lagi nggak kepengen banget snorkeling. Yang sedikit kecewa sepertinya Rika, maka untuk mengobati kekecewaannya kami sempat mengelilingi pulau untuk menonton sebagian rekan kami yang sedang memancing di laut. Tak lupa kamimelanjutkan kegiatan foto-foto di bebatuan super besar yang menjadi khas Pantai di Bangka Belitung. Konon katanya, batu-batu tersebut dulu asalnya dari letusan Gunung Krakatau. Humm.. Jadi ngebayangin betapa seremnya kejadian waktu itu.


Mercusuar Pantai Lengkuas

Puas foto-foto, kami memutuskan kembali ke mercusuar karena di dekat situ ada warung kecil yang menjual minuman dan makanan. Karena lapar, kami sempat pesan mie instan sambil ngobrol sama mas penjaganya. Dari mas itu kami tahu bahwa Pulau Lengkuas ini merupakan salah satu tempat penangkaran penyu. Kami sempat melihat ke tempat penetasan telur penyu dan kolam berisi puluhan penyu yang baru berusia 5 hari. 

Selain Pulau Lengkuas, kami juga sempat ke Pantai Tanjung Tinggi tempat syuting Laskar Pelangi. Sayangnya walaupun pemandangan di sana indah, namun pantai ini sudah agak kotor dengan sampah-sampah pengunjung. Tapi itu tak mengurangi niat kami untuk mengabadikan momen lewat foto-foto tentunya. 


Tanjung Tinggi, Belitong

Sejenak berandai-andai jadi Laskar Pelangi

Hari Senin, 20 Oktober 2014 saya dan suami sudah standby sejak jam 6 pagi di Pelabuhan Tanjung Pandan untuk menyeberang ke Bangka. Jadwal jetfoil KM Express Bahari dari Belitung ke Bangka hanya sekali dalam sehari yaitu pukul 07.00 WIB, kecuali hari Selasa dimana pada hari tersebut tidak ada jadwal penyeberangan. Jadi mau tidak mau, pada Hari Senin tersebut kami harus lakukan penyeberangan, kalau tidak mau membeli tiket pesawat ke Bangka yang harganya kurang lebih sama dengan tiket ke Jakarta. 

Ada cerita lucu saat di pelabuhan. Kebetulan HP suami saya mati total saat itu, padahal nomor HP rental mobil tersimpan disana. Untungnya suami dan Mas Eka dari rental mobil sudah janjian sehari sebelumnya untuk bertemu di pelabuhan. Sampai dengan pukul 06.30 WIB Mas Eka masih tidak nampak batang hidungnya di pelabuhan, kami mulai deg-degan sebab harus kemana kami menitipkan kunci dan STNK kalau si empu-nya mobil nggak juga muncul?
Kebetulan saat sedang menunggu, suami saya melihat ada satu keluarga yang diantar oleh guide lokal dengan menggunakan mobil rental. Seusai keluarga tersebut turun, suami saya dengan modal nekat mengetuk kaca mobil dan menceritakan bahwa HP-nya mati total sehingga tidak dapat menghubungi orang yang menyewakan mobil rental kepada kami, pemilik mobil ditunggu-tunggu juga tidak terlihat di pelabuhan. Untungnya, setelah menunjukkan STNK mobil, guide lokal tersebut ternyata kenal dengan pemilik mobil dan berbaik hati membantu menghubungi rental kami. Tidak sampai 15 menit kemudian, Mas Eka rental mobil kami datang dengan diantar motor. Dengan lega di detik-detik terakhir kami menyerahkan mobil ke Mas Eka.

Lain lagi cerita saat antri tiket di Pelabuhan. Sementara suami saya mencari Mas Eka, tugas saya adalah antri untuk beli tiket. 
Namun sialnya hari itu petugas loketnya telat. Jadwal kapal berangkat pukul 07.00 WIB, namun sampai pukul 06.30 WIB lewat loket masih juga kosong padahal dari pengeras suara pihak pelabuhan sudah menginfokan agar para penumpang segera ke atas kapal bagi yang sudah memiliki tiket. Humph. Makin spaneng deh rasanya nunggu loket buka.
Antrian sudah panjang ke belakang tapi saya cukup tenang karena kami sudah datang dari pagi dan dapat antrian nomor tiga dari depan. Kurang 15 menit dari jadwal keberangkatan, petugas loket baru datang dengan tergopoh-gopoh. Tepat saat loket dibuka, tiba-tiba antrian yang tadinya (lumayan) rapih jadi seketika berantakan. Semua orang yang antri di belakang serentak langsung menyerbu ke depan. Banyak dari yang antri sepertinya calo tiket, karena mereka beli tiket dalam jumlah yang langsung banyak. Saya yang tadinya berencana beli tiket kelas Bisnis, urung beli karena tiba-tiba diberitahu kalau tiket Bisnis sudah habis! Nah lho.. Kok bisa? Padahal saya kan antrinya termasuk bagian paling depan?? Dengan rasa mangkel akibat desak-desakan akhirnya kami (terpaksa) beli tiket kelas VIP dengan harga satu tiket Rp 285.000,-, padahal di papan tertera 3 kategori harga tiket: Bisnis Rp 190.000,-; Executive Rp 195.000,- dan VIP 230.000,- .

Benar-benar pengalaman buruk banget deh di Pelabuhan tersebut. Sudah masyarakatnya nggak bisa antri dengan baik, petugas juga tidak ada kesadaran untuk merapihkan antrian, belum lagi petugas loketnya datang telat dan super lelet sehingga menyebabkan jadwal keberangkatan juga mundur, belum lagi harga tiket yang tidak sesuai dengan yang ada di papan. Hummm.. Ya sudahlah, dijadikan pelajaran aja. Lain kali kalau mau nyeberang dari Belitung-Bangka, lebih baik pesan tiket sebelumnya atau sekalian aja naik pesawat.

Perjalanan dari Belitung-Bangka lewat laut makan waktu sekitar 4 jam. Sesampainya di Pelabuhan Pangkal Balam, Bangka kami segera naik angkot ke pasar untuk cari makan terlebih dulu. Angkot yang kami tumpangi minta tarif Rp 10.000,- per orang. 
Menu pertama yang kami coba siang itu tentunya Mie Bangka yang terkenal itu. Yang menarik perhatian saya hampir setiap makanan di Bangka menggunakan jeruk kunci, jeruk khas Bangka yang rasanya sedikit lebih manis dari jeruk nipis. Setelah kenyang dengan besarnya porsi Mie Bangka yang kami makan kami segera melanjutkan naik angkot kembali untuk mencari hotel. Kali ini angkotnya mengenakan tarif normal yaitu Rp 2.500,-/orang. 
Kami memutuskan untuk bermalam di Damai Inn, di kawasan Pangkal Pinang dengan tarif hotel Rp 220.000,-/malam (sudah termasuk pajak). 
Hotelnya sendiri sederhana, namun cukup bersih. Cukuplah bagi kami untuk beristirahat dan menaruh barang-barang, mengingat kami pasti menghabiskan hampir seluruh waktu kami di luar untuk jalan-jalan sayang rasanya kalau mengeluarkan uang lebih untuk hotel mahal.

Usai bersih-bersih sejenak dan suami mencari rental mobil di lobby hotel, kami segera bersiap keluar untuk jalan-jalan. Rental di Bangka yang kami dapat ini harganya sama dengan di Belitung yaitu Rp 250.000,-/hari. Perjalanan pertama kami ke Pantai Pasir Padi yang konon katanya unik karena kontur pantainya yang landai dan tekstur pasirnya keras sehingga kita bisa jalan sampai ke tengah laut karena airnya juga tidak terlalu dalam. Dalam perjalanan menuju pantai, sayangnya ban mobil kami sempat robek karena tertancap paku besar, jadi perjalanan sedikit terhambat untuk ganti ban dengan ban serep. Sesampai di Pantai Pasir Padi, kami segera parkir mobil di pinggir pantai dan jalan hingga hampir ke tengah laut yang ada beton-beton pemecah ombaknya. Kami duduk-duduk disana dan menikmati sunset yang arahnya berseberangan dengan pantai. Hingga matahari tenggelam kami segera bergegas kembali ke Pangkal Pinang untuk mencari makan malam.


Foto ini diambil di tengah laut lho.. Pantainya landai jadi mudah bagi kami untuk berjalan ke tengah-tengah laut

Malam itu atas anjuran suami saya makan tekwan, yang menurut saya rasanya mantab. Asinnya pas, kuah bening dengan rasa sup ikan yang kerasa banget apalagi ditambah perasan jeruk kunci, irisan jamur dan bengkoang. Segar banget! Suami sendiri memilih untuk makan pempek kapal selam yang menurut saya rasanya lebih manis dari pempek pada umumnya, tapi setelah agak lama rasa pedasnya baru terasa menggigit. 


Tekwan yang super seger dengan perasan Jeruk Kunci


Wisata kuliner malam itu nggak berhenti sampai di situ saja, kami langsung lanjut ke Alun-Alun Kota yang disingkat ATM oleh masyarakat setempat. Bahkan pada malam yang bukan akhir pekan, tempat ini ramai dikunjungi masyarakat yang membawa anggota keluarganya. Yang remaja bisa makan-makan di sekitar alun-alun, yang anak-anak bisa main di berbagai macam jenis permainan yang ada di sana, salah satunya semacam mobil-mobilan mini yang bisa dikendalikan remote control oleh orang tua mereka. Di sana kami juga sempat mencoba jajanan berupa gorengan yang pada dasarnya berasal dari ikan namun diolah menjadi berbagai macam jenis. Delapan potong gorengan ditambah dengan segelas susu kedelai, kami cukup mengeluarkan uang Rp 12.000,- saja. Harusnya malam itu wisata kuliner kami ditutup dengan makan buah duren, namun sayangnya karena bukan musimnya, kami tidak dapat menemukan satupun pedagang durian yang biasanya ada di sepanjang jalan.

Jadwal hari terakhir kami di Babel adalah Beaches Marathon sebelum jadwal pulang kami ke Jakarta pukul 17.10 WIB sorenya. Namun sebelumnya kami berencana sarapan dulu ke warung kopi yang terkenal di Bangka yaitu Warung Kopi Tung Tau. Entah Google Maps dan Waze-nya lagi kacau, bukannya ketemu si warkop kami malah sempat kesasar sampai ke kuburan cina. Sempat hampir menyerah, akhirnya warkop ini secara tidak sengaja ketemu dalam perjalan kami ke Pantai Parang Tenggiri. Warkop Tung Tau ini terletak di perempatan pasar di Jl. Muhidin. Sudah berdiri sejak tahun 1938 dengan resep yang diwariskan turun temurun dan dikelola sendiri oleh generasi penerusnya. Semua kedongkolan karena sempat kesasar tadi terbayarkan saat makan roti panggang telur dan mencicipi kopi susu serta teh susunya. Semuanya enak. Roti panggangnya crunchy di luar tapi lembut banget di dalam. Buat seseorang yang nggak bisa minum kopi seperti saya aja, sepertinya saya jatuh cinta sama rasa kopinya. Sebagai bekal di perjalanan, akhirnya kami memutuskan untuk take away roti panggang isi srikaya. Oya, so far menurut saya jajanan dan makanan di Bangka ini harganya bersahabat dengan dompet merah saya. Menyenangkan deh pokoknya. Hehehe.


Wajib mampir ke Tung Tau kalau lagi di Bangka

Sarapan sudah, saatnya ke Pantai Parang Tenggiri. Pantai ini sebenarnya bukan pantai umum, jika masuk ke pantai, kita harus membayar Rp 25.000,-/orang, karena wilayah pantai ini memang masuk ke dalam wilayah Parang Tenggiri Beach, Resort & Spa. Kami sempat menemukan hotspot di Parang Tenggiri berupa pantai kecil di balik bebatuan dekat restoran hotel yang tempatnya menjorok ke tengah laut. 

Hotspot di Pantai Parang Tenggiri, pantai mini dibalik bebatuan

Pantai Parang Tenggiri yang bersih

Tujuan kedua adalah Pantai Matras yang letaknya bersebelahan dengan Pantai Parang Tenggiri. Saat kami kesana sepertinya sedang ada restorasi di Pantai Matras, sehingga akhirnya kami terus menyusuri jalan mencari pantai yang lebih nyaman tanpa ada kehadiran excavator-excavator di pinggir pantai. Sedikit off road dan sempat berhenti di area bekas tambang timah, akhirnya kami menemukan spot di daerah Matras yang indahnya luar biasa. Pantainya nihil orang, dengan bebatuan besar dan uniknya di pinggir pantai juga ada rawa yang banyak ikan dan udangnya. Kami agak lama menjelajah di pantai tersebut. Loncat dari satu batu ke batu yang lain dan sedikit bermain air di bibir pantai.



Berasa pantai pribadi

Rawa di seberang dalam pantai. Kami menemukan banyak udang dan ikan di sini

Indahnya Pantai Matras dengan bebatuan besar khas pantai di Babel

Jernih ya airnya?

Bersanntai di salah satu batu besar Pantai Matras

Tujuan selanjutnya adalah Teluk Kenangan.. Eh, Teluk Uber maksudnya.. Hehehe. Di Pantai Uber ini sedikit berbeda dengan pantai-pantai di Bangka lainnya karena warna pasirnya yang sedikit kehitaman. Kami sempat berenang di sana, bahkan sempat nemuin ubur-ubur yang setiap mau difoto pasti kabur.


Berenang sebelum pulang

Nggak terasa jam sudah menunjukan hampir pukul 13.30 WIB, kami segera bergegas ke hotel untuk check out dan menyempatkan diri ke Museum Timah Indonesia yang dikelola oleh PT Timah, Tbk. Di museum yang tadinya merupakan tempat bersejarah yaitu tempat diselenggarakan dan ditandatanganinya Perjanjian Roem Royen ini kita bisa belajar banyak tentang sejarah timah di Indonesia, bahkan saya dengar Museum ini adalah satu-satunya museum Timah di Asia Tenggara. Sayang kami tak bisa berlama-lama di sana karena harus mengejar pesawat ke Bandara Depati Amir.


Mangkuk keruk timah yang ukurannya bisa nampung saya dan suami sekaligus sepertinya. Hihihi

Sempat delay karena cuaca saat itu super mendung, akhirnya pukul 18.30 kami take off juga ke Jakarta. Begitu banyak cerita yang bisa saya bagi dalam waktu yang singkat. Jika ada kesempatan, saya dan suami ingin sekali kembali ke sana, karena masih banyak sekali tempat yang ingin kami kunjungi. Pantai-pantai, Bangka Botanical Garden, Kampung Pecinan di Belinyu, daerah bersejarah Muntok, dan lain-lain. Yang pasti kota Bangka selalu punya tempat tersendiri di hati kami, karena kota ini adalah awal pertemuan kembali saya dan suami..

Happy Anniversary, my dearest one.
I love you above and beyond. 


2 comments:

  1. Hai Resy, kunjungan balik nih. Wah, asyik ya bisa sering2 liburan bareng suami. Pengen juga kapan2 ke belitong ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Mbak Ika.. Seneng banget nih dikunjungi balik sama senior.. Hehehe. Iya, Mbak. Kalau kami mumpung masih dikasih waktu sama Allah untuk pacaran dulu sambil nunggu kehadiran jabang bayik, jadi ya sudah kemana-mana baru berdua. Mudah-mudahan nanti kalau sudah dikasih rezeki Allah momongan bisa posting cerita "Berkunjung kembali ke Belitong bersama si kecil". Hihihi.. Amin YRA ^^

      Delete